Saat Lebaran Hinggap di Kota Athens


salat Idul Fitri di Islamic Center, Athens

LEBARAN hadir. Bukan sekadar penanda hari yang berbeda, namun ada kemeriahan serta suasana yang terasa hingga seluruh pelosok. Di tanah air, takbir akan berkumandang. Beduk dibunyikan bertalu-talu. Dan malam sebelum lebaran adalah malam ketika jalanan penuh dengan keramaian takbir serta bunyi petasan yang menggemuruh.

Lebaran bukan hanya sebagai peristiwa religius, akan tetapi juga sebagai peristiwa kultural. Ada semacam atmosfer serta selubung suasana yang kemudian menjadi penanda bahwa hari ini adalah Lebaran. Namun, di tengah masyarakat Amerika yang tak pernah tahu apa makna Lebaran, akankah hari ini menjadi meriah?

Di Athens, Ohio, aku merasakan Lebaran yang kehilangan suasana. Kemeriahannya hanya ada di dalam masjid. Bagi komunitas Muslim, Lebaran jadi momen sibuk. Malam Lebaran, aku ikut bersama para sahabat untuk membersihkan Islamic Center, mengepel semua lantai, mengilapkan kamar mandi. Aku ikut dalam kemeriahan bersama warga Muslim lainnya. Namun, setelah keluar dari Islamic Center, kembali suasana itu seakan lenyap.

Melalui media sosial, aku diberitahu tentang suasana Lebaran yang meriah di kota New York. Sahabat Shamsi Ali mengirim tautan tentang salat Idul Fitri yang dilaksanakan di Queens, New York. Pihak Humas Kota New York memajang foto-foto tentang salat itu di website mereka. Suasananya meriah. Ribuan jamaah berbaur di lapangan di sana.

salat Idul Fitri terbesar yang diadakan di New York

Memang, New York beda dengan kota-kota lain. Di New York, kaum Muslim lebih progresif dan massif. Mereka bisa menegosiasikan hak-hak serta keinginan mereka. Sementara di Athens, Ohio, suasananya sangat jauh berbeda. Pemerintah Athens seakan membatasi ekspresi keagamaan. Di masjid, suara hanya diperdengarkan di lingkungan kecil dalam ruangan. Suara tak boleh terdengar ke mana-mana. Sungguh kontras bila melihat suasana sebelah apartemenku di malam hari, tatkala musik disko memecah malam, serta lampu-lampu warna-warni yang menyorot ke segala arah.

Namun dalam kondisi seperti ini, Lebaran tidak menjadi bising dengan suara-suara petasan serta kembang api yang berdenyar di udara. Lebaran menjadi momen pensunyian diri yang akan menikam-nikam jantung dengan pertanyaan tentang substansi dan makna. Selama sebulan menjalani puasa, pertanyaan yang tersisa: apakah makna menahan lapar dan haus di tengah kepungan masyarakat yang acuh tak acuh?

Di rumah kecil yang berfungsi sebagai masjid itu, aku memikirkan pertanyaan itu. Bahkan ketika salat ied usai, semua orang berjabat tangan dan saling mencium pipi ala Arab, aku masih saja memikirkan pertanyaan yang selalu saja memenuhi benak ini. Aku memikirkan bahwa Lebaran adalah satu titik dalam hari di mana kita berkomitmen untuk membersihkan diri, melihat kembali coreng-moreng di wajah kemanusiaan hari ini, kemudian menumbuhkan tekad untuk berbuat yang lebih baik.

seusai salat
bersama sahabat asal Malaysia

Di kota kecil ini, aku dan sahabat-sahabat sedang mencipta suasana Lebaran. Usai salat, bersama komunitas Indonesia dan Malaysia, kami saling mengunjungi dan berjabat tangan, diiringi senyum lebar, untuk meminta maaf atas segala dosa dan salah. Bersama warga Malaysia itu, kami menjadi satu kesatuan, satu saudara, satu nasib di tanah rantau, sama-sama merindukan peluk erat serta kehangatan. Aku mengunjungi rumah Najmi Yakob, Faisal dan Ka Tim, hingga Zafri. Di setiap kunjungan itu, kami sadar bahwa yang membedakan kami hanyalah batasan politik dan geografi. Ini adalah konsep yang dicipta dalam pikiran dan memenjarakan kita semua.

Bahwa sesungguhnya, kami sama-sama manusia biasa. Bahwa sesungguhnya, dalam tubuh kami telah mengalir darah yang sama. Bahwa sesungguhnya, kelak kami akan sama-sama terkalahkan oleh waktu. Kelak kami hanya akan menjadi tulang-belulang, atau malah kami akan sama sekali lenyap dalam sejarah. Momen Lebaran menjadi momen yang mempererat kedekatan, memutuskan jarak sosial di antara kami, sekaligus menjadi momen penuh permaafan.

Melalui kata maaf, kami sama-sama merendahkan diri kami, sebagaimana rendahnya tanah yang kami pijak. Kami sama-sama berikhtiar dan berjanji ke dalam hati masing-masing untuk melakukan yang terbaik. Pada akhirnya diriku terus-menerus menyadari betapa kotornya jejak yang pernah ditorehkan, namun kesadaran akan kemanusiaan telah menjadi cahaya terang yang akan membimbing kami untuk memisah terang dari gelap, untuk menjadi diri yang lebih baik.

Mestinya, Lebaran menjadi awal untuk bertanya ada seluruh anggota tubuh, sebagaimana yang pernah dilakukan guruku KH Mustofa Bisri (Gus Mus). Di hari ini, aku membaca puisi indah dari guruku KH Mustofa Bisri, puisi yang terus-menerus hadir di setiap malam menjelang tidur. Kukutipkan puisi itu beberapa bait:


Selamat Idul Fitri, mata
Maafkanlah aku,
selama ini kau hanya kugunakan
melihat kilau comberan

Selamat Idul Fitri, telinga
Maafkanlah aku,
selama ini kau hanya kusumpali
rongsokan-rongsokan kata

Selamat Idul Fitri, mulut
Maafkanlah aku,
selama ini kau hanya kujejali
dan kubuat memuntahkan Onggokan-onggokan kotoran

Selamat Idul Fitri, tangan
Maafkanlah aku,
selama ini kau hanya kugunakan mencakar-cakar kawan
Dan berebut remah-remah murahan

Selamat Idul Fitri, kaki
Maafkanlah aku,
selama ini Kau hanya kuajak menendang kanan-kiri
Dan berjalan di lorong-lorong kegelapan

Selamat Idul Fitri akal budi
Maafkanlah aku,
selama ini kubiarkan kau terpenjara sendiri

0 komentar:

Posting Komentar