Ideologi Versus Epistemologi dalam Kajian Kebudayaan

salah satu tarian Buton sebagai kebudayaan yang perlu diwariskan

DALAM setiap diskusi kebudayaan, saya selalu menemui masalah ketidaksiapan untuk menerima segala sesuatu apa adanya. Kita terlanjur memelihara keyakinan bahwa kebudayaan kita adalah sesuatu yang hebat, dikagumi bangsa-bangsa lain, serta menunjukkan keperkasaan atau kedigdayaan bangsa kita. Di satu sisi, ini memang positif sebab menunjukkan sejauh mana nasionalisme bekerja dan menjadi energi yang mendorong majunya suatu kebudayaan. tapi di sisi lain, ini akan menjadi masalah sebab menunjukkan ketertutupan serta potensi untuk dininabobokan dalam setiap diskusi menyangkut tema ini.

Para antropolog menyebutnya sebagai romantisisme kebudayaan. Romantisisme adalah produk dari idealisasi. Setiap kebudayaan selalu saja memiliki romantisisme sendiri-sendiri karena hanya dengan cara demikianlah kebudayaan bisa tetap menjadi the way of life. Bahkan para peneliti pun kerap kali terbius oleh romantisisme kebudayaan. Mereka lalu mereproduksi wacana yang romantis tentang satu kebudayaan, menganggapnya seolah tidak pernah salah, hingga melihatnya sebagai kebenaran absolut yang diwariskan dari pengetahuan masa silam untuk diawetkan generasi masa kini.

Pertanyaan kritis yang selalu saya ajukan adalah jika memang masa silam itu memang gemilang atau jaya, lantas, mengapa harus mengalami keterputudan sejarah di masa kini? Mungkin jawabannya adalah kolonialisme bangsa barat. Tapi kembali muncul pertanyaan, jika halnya adalah kolonialisme, bukankah nenek moyang kita juga memiliki tradisi yang agung dan adiluhung? Lantas kenapa mereka harus takluk dan kemudian menitip pesan kepada anak cucunya agar meromantisasi segala hal yang terjadi sebelum mereka kalah?

Mungkin ini adalah faktor politik dan kekuasaan. Nenek moyang bangsa kita adalah nenek moyang yang kalah. Mereka takluk oleh bedil sehingga dengan segera mereproduksi berbagai mitos yang menguatkan dirinya di mata anak cucu. Mereka lalu membangun cerita yang menunjukkan kehebatan, adiluhung, keperkasaan, kekuatan, atau kedigdayaan. Kolonialisme telah mengajarkan kita bahwa sehebat apapun kehebatan nenek moyang kita dalam hal kebudayaan, mereka takluk dan tak berdaya melawan sains dan teknologi. 

Bangsa Eropa tak punya ajian, juga tak punya gada wesi kuning, atau pusaka keris dari gua di Pulau Buton, namun mereka sukses mengalahkan para raja-raja kecil di daerah, sukses mengamankan jalur dagang dan membawa timbunan rempah-rempah ke negeri seberang. Catat pula, luas wilayah Netherland hanya sebesar wilayah Jawa Barat, akan tetapi penduduknya sanggup mencaplok negeri yang luasnya demikian besar dan demikian kaya-raya.

Saya sering bertanya-tanya. Lantas, mengapa pula kita harus menjunjung tinggi kebudayaan yang diwariskan pada kita hari ini? Jika alasannya adalah demi menjaga kontinuitas kebudayaan, bukankah kebudayaan itu adalah energi yang tumbuh dari suatu masyarakat di setiap zaman? Namun, saya tetap berprasangka positif. Upaya mempelajari kebduayaan mestinya diarahkan untuk memahami suatu masyarakat sehingga bisa memfasilitasi mereka untuk menumbuhkan efek-efek dinamik dalam kebudayaannya sehingga bisa survive dan berkembang. Upaya mempelajari kebudayaan bukanlah untuk memuji-muji secara berlebihan, kemudian menganggap bahwa kebudayaan tertentu lebih tinggi dari yang lain, sehingga seolah menaklukan dunia. Upaya mempelajari kebudayaan adalah mempelajari hikmah-hikmah dari zaman, menemukan hukum-hukum yang sifatnya universal serta memiliki relevansi dengan masa kini, sehingga menjadi bedil yang memporak-porandakan pandangan yang melihat satu kebudayaan sebagai segala-galanya.

right or wrong is my culture
Masalahnya dalah banyak di antara kita yang menjelmakan kebudayaan sebagai ideologi. Bagi saya, ada perbedaan antara ideologi dan sains (ilmu pengetahuan). Jika epistemologi adalah sesuatu yang meniscayakan keterbukaan, maka ideologi justru meniscayakan ketertutupan. Jika dalam epistemologi ada dialog, maka dalam ideologi, tidak pernah ada dialog. Segalanya serba tertutup. Dalil yang sering dikemukakan penganut ideologi dalam kebudayaan adalah: “Anda bisa saja menunjukkan kesalahan keyakinan saya, namun saya tidak akan menerimanya. Sebab keyakinan saya selalu benar. Titik!”

Lantas, dengan cara apa kita melakukan diskusi kebudayaan. Diskusinya harus mengarah pada ruang epistemologis. Konsekuensinya adalah semua pihak mesti berpikir terbuka dan tidak mudah tersinggung. Semua pihak mesti berjiwa dan melihat setiap argumentasi sebagai bagian dari dinamika berpikir yang kelak akan mmperluas perspektif kita akan sesuatu. Jika tidak siap berpikir terbuka, maka kebudayaan akan selalu diromantisir. Sebenarnya, taka pa meromantisir, tapi kadang terlalu berlebihan. Pantas saja ada cerita tentang tokoh lokal yang mengalahkan Nabi Muhammad dalam adu tanding kesaktian. Wah, kalau ini sih sudah bisa dikatakan sebagai upaya memanipulasi sejarah. What?

BACA JUGA:







0 komentar:

Posting Komentar