Diskusi tentang Esensialisme Kebudayaan

MARILAH kita diskusi tentang kebudayaan. Sebagai penikmat diskusi tentang kebudayaan, baik Buton, Jawa, Bugis, ataupun Makassar, saya selalu menemukan ekspresi yang sama bagi setiap pengkaji kebudayaan. Bersetuju dengan para antropolog, kebudayaan memang merupakan tema universal yang berdenyut di mana-mana, namun pada tataran praktis, kebudayaan selalu diekspresikan dengan pola yang sama sehingga senantiasa terdapat satu benang merah dalam setiap diskusi kebudayaan.

Dalam setiap diskusi kebudayaan, selalu saja ada perbincangan tentang tiga hal yakni esensialisme, adaptasi, serta kekhawatiran kepunahan. Ketiga instilah ini memang membingungkan. Nah, dalam tulisan ini, saya hanya ingin membahas tentang esensialisme. Sebab pembahasan ketiganya akan membutuhkan waktu yang cukup panjang. 

Esensialisme adalah pandangan yang melihat bahwa kebudayaan memiliki inti atau pusat. Pandangan ini melihat kebudayaan memiliki nilai-nilai ideal, norma luhur yang menjadi ciri pembeda serta diwariskan secara turun-temurun. Para penganut esensialisme sangat percaya bahwa kebudayaan memiliki nilai-nilai yang absolut pada satu masa dan berlaku secara universal. 

Kita sering menemukan para esensialis dalam diskusi kebudayaan. Mereka selalu meromantisasi masa-masa ketika satu kebudayaan masih menjadi landasan utama pembentukan nilai. Mereka akan selalu melihat kemajuan di masa silam, dan merendahkan pencapaian di masa kini. Mereka melihat masa kini dengan pandangan yang agak sinis karena dianggap sudah sangar bergeser dari apa yang terjadi masa silam. Kebudayaan dilihat sebagai sesuatu yang ideal, dengan nilai-nilai yang berlaku mutlak.

Kata Ignas Kleden, para esensialis cenderung memperlakukan kebudayaan sebagai ideologi. Sebuah ideologi, sangat berbeda dengan epistemologi yang selalu membahas benar dan salah, atau logis dan tidak logis. Sementara ideologi justru melihat semuanya dalam konteks yakin dan tidak yakin. Dalam hal ideologi, tak ada dialog. Sebab ideologi akan selalu menemukan dan mencari pembenarannya sendiri. 

Saya melihat esensialisme dalam dua titik pandang. Pertama, para esensialis memiliki peran postifi untuk memperhatikan hangatnya bara perbincangan tentang kebudayaan. Dengan cara idealisasi seperti itu, mereka bisa menjadi penjaga gawang nilai yang setia mempertahankan diskusi tentang kebduayaan sehingga tidak punah dalam sejarah. Pada tataran tertentu, mereka amat penting untuk menjaga nyala api sebuah kebudayaan sebab senantiasa menjadikannya sebagai wacana, teka-teki, serta celah untuk terus diperbincangkan bersama-sama.

Kedua, para esensialis bisa kian mengerdilkan kebudayaan. Dengan sikap yang tertutup dan ideologis, kebudayaan bisa tumbuh dalam bonsai. Mereka menutup diri dari fakta-fakta, yang sering dianggap bisa mengecilkan kebudayaan. Mereka tidak peduli dengan apa komentar dan pendapat orang lain sehingga sulit diharapkan terjadi dialog.  Bisakah kita membayangkan dialog di kalangan dua esensialis dari kebudayaan yang berbeda? Pastilah mereka tidak saling mendengarkan. Mereka bisa saja memelihara stereotype dan sikap membicarakan dari belakang. Mereka sering membawa trauma masa silam, dan beritndak sebagai agen pasif yang merelakan dirinya sebagai taklukan masa silam. Mereka membawa luka sejarah dan menafikan peran aktif kita di hari ini untuk mengubah sekaligus menciptakan sejarah baru. 

Terlepas dari pro kontra tentang esensialisme kebudayaan. Mereka adalah jumlah yang terbesar dari warga kita yang menggemari diskusi kebudayaan. Tentu saja, saya percaya bahwa dialog-dialog akan sangat baik untuk mencairkan kebekuan, membuka mata kita pada kebenaran baru, serta mengapresiasi perbedaan cara pandang masing-masing menjadi harmoni yang amat indah dan menakjubkan.(*) 

0 komentar:

Posting Komentar