You Are Not Alone

Spiritualitas itu tidak terletak pada seberapa sering seseorang melakukan ibadah. Spiritualitas itu terletak pada sejauh mana seseorang berbuat kebaikan, memberi manfaat bagi sesamanya, serta memberi makna bagi apapun di sekitarnya. 

Kutipan di atas adalah refleksi saya usai membaca buku You Are Not Alone karya Arvan Pradiansyah. Buku ini berisikan 30 renungan tentang ketuhanan, spiritualitas, serta prilaku kita sehari-hari. Kekuatan buku ini adalah gaya bahasa yang ringan, mengalir, serta mudah dipahami oleh siapa saja. Anda tak perlu berkerut kening untuk memahai buku ini. Membacanya cukup dengan rileks dengan pikiran yang hanyut sebab di sana-sini terdapat kutipan dan kisah-kisah yang bertaburan makna untuk diresapi.

Dari sampul dan isinya, sangat terasa kalau buku ini tidaklah ditujukan pada agama tertentu, namun semua orang yang menghayati agama sebagai sebuah jalan untuk membebaskan diri dari prilaku tidak terpuji. Buku ini melepaskan dirinya dari kungkungan agama. Sebab isinya justru meresap ke jantung makna, yang diyakini sebagai aspek sosial dari ajaran agama.

Dari sekian banyak kelebihan buku ini, saya menemukan beberapa kerikil tajam. Saya sudah membaca tuntas hingga halaman terakhir. Namun, entah mengapa saya tak menemukan ada kebaruan di buku ini, selain dari taburan kutipan dari beberapa sosok penting. Memang kisah-kisahnya menghanyutkan. Kita diajak melihat sesuatu dengan cara pandang baru yang lebih jernih. Namun, beberapa kisah yang dituturkan adalah kisah yang sudah sering saya temukan dalam ajaran-ajaran tasawuf. Makanya saya tidak terlalu terkejut. Bahkan beberapa kisah sudah pernah saya temukan dalam beberapa tulisan sufistik dari Jalaluddin Rakhmat dan Nurcholish Madjid (alm). 

Saya bisa menunjukkan beberapa kisah yang secara orisinil merupakan penggalan kisah yang dipaparkan beberapa sufi, termasuk beberapa kisah dari Ali bin Abi Thalib. Namun, apakah mengutip kisah sufi tanpa meyebutnya sumbernya bisa disebut plagiat? Entahlah. Dalam pahaman saya, ini sesuatu bisa disebut plagiat ketika mengutip gagasan seseorang, tanpa menyebut sumber asli gagasan tersebut. Ini soal kejujuran. Tapi saya sangat yakin kalau pengarang buku ini punya niat yang sangat mulia. Tujuannya adalah menyebarkan makna dan keindahan beragama sehingga semua orang bisa meresapi dan mempraksiskannya. Mungkin pula, kisah-kisah sufistik itu memang kisah yang tidak bertuan, sebab tujuannya adalah untuk mendidik dengan cara yang sangat kreatif melalui kisah.

Maafkan atas pernyataan ini. Secara jujur, yang saya nikmati dari buku ini bukanlah kisah-kisahnya. Melainkan beberapa kutipan dari sejumlah tokoh yang menggambarkan indahnya spiritualitas serta tangga-tangga manusia menuju kesempurnaan. Belakangan ini, saya sering menemukan buku spiritualitas praktis seperti ini. Entah bagaimana menjelaskan fenomena ini. Tapi bisa jadi ada beberapa asumsi mengapa buku sejenis memenuhi rak toko buku kita.

Pertama, masyarakat kita sudah bertransformasi menjadi masyarakat kota yang sibuk hingga tak punya waktu meresapi sesuatu. Masyarakat kita adalah masyarakat yang bergegas di pagi hari menuju kantor atau tempat bisnis sehingga kehilangan daya nalar dan refleksi atas apa yang terjadi di sekitar. Masyarakat kita kehilangan getar ketika melihat setetes embun, dan kehilangan nurani ketika melihat sesuatu yang tidak adil. Dalam kehidupan yang serba sibuk di Jakarta, kita mudah kehilangan nurani, sesuatu yang sejatinya bisa menjadi cermin untuk berrefleksi serta menemukan suara kesejatian. Nah, di tengah masyarakat yang serba sibuk, kehadiran buku spiritualitas yang instan bisa menjadi oase yang sejenak bisa mengurangi kepenatan. Tak hanya buku, hadir pula sosok motivator hingga inspirator yang menggantikan peran para mubalig untuk memberi motivasi dan bimbingan spiritualitas.

Kedua, kita tidak punya banyak stok penulis dengan beragam spectrum tema yang diangkat. Entah kenapa, tema yang ditawarkan selalu yang itu-itu saja. Tak banyak penulis yang bisa mengeksplorasi berbagai tema yang menarik, dengan sudut pandang yang unik, sehingga sebuah karya menjadi tenyah seperti martabak, namun tetap reflektif. Yang terjadi kemudian adalah reproduksi tema yang sama dan mulai menjenuhkan.

Ketiga, mungkin para penerbit kita memang kurang kreatif sehingga selalu mereproduksi satu tema secara berulang-ulang. Ketika satu buku yang bernuansa spiritualitas praktis meledak di pasaran, maka produsen buku berlomba-lomba menggarap tema yang sama. Saya tidak menuduh bahwa ini semata-mata demi uang. Tidak sama sekali. Tapi ada stagnasi intelektualitas serta kemandekan kreativitas yang cukup akut dan melanda kita. Yang terjadi kemudian adalah hadirnya buku dengan sampul beda, namun cita rasa sama.

Apapaun itu, setidaknya buku ini mesti dilihat dengan cara pandang yang positif. Setidaknya, pengarang buku ini sudah coba untuk memadamkan api angkara dengan cara sederhana yakni  melalui tulisan. Saya tiba-tiba teringat kisah sufi tentang seekor burung kecil yang menyimpan air di paruhnya dan hendak memadamkan api yang melumat tubuh Nabi Ibrahim. Dari paruhnya yang kecil ia teteskan air untuk memadamkan api Namrud. Burung-burung lain menertawainya. Dengan tenang ia menjawab, “Aku tahu tetesan air ini tidak akan mungkin memadamkan api Namrud tapi aku ingin agar Tuhan tuliskan dalam kitab-Nya bahwa aku sudah berbuat untuk kekasih-Nya.”


Jakarta, 14 Maret 2011


0 komentar:

Posting Komentar