Cinderella Itu Bernama Kate Middleton

Pangeran William dan kekasihnya Kate Middleton

KITA, manusia modern, selalu saja membutuhkan kisah dongeng. Bahkan di zaman millenium, ketika manusia tidak lagi menunggang kereta kuda melainkan pesawat nuklir, sebuah dongeng tetap saja aktual. Kemudian kita akan menghabiskan waktu untuk membahas segala dongeng tersebut, memikirkan betapa megahnya pentas dongeng yang dihadirkan, lalu memandang dengan tatap penuh iri, sembari berharap jika keajaiban itu datang pada diri kita. Bukankah demikian?

Hari ini, saya berkunjung ke stand majalah asing di satu toko buku. Betapa saya terkejut ketika melihat mayoritas liputan majalah tertuju pada rencana pernikahan Pangeran William dan Kate Middleton. Majalah Reader Digest menyebut pernikahan ini dengan judul besar Wedding of the Decade. Pernikahan ini disebut-sebut seperti pernikahan megah abad pertengahan yang akan menyita perhatian publik dunia. Bukan saja karena kemewahannya, namun kisah-kisah kerajaan yang serupa dongeng, hasrat para selebriti atau pesohor untuk diundang ke pernikahan ini, serta bombardir liputan media yang mewartakan pernikahan ini sebagai yang terbesar di abad ini, bahkan lebih besar dari pernikahan Pangeran Charles dan Lady Diana, tahun 1981 lalu.

pernikahan Lady Diana dan Pangeran Charles tahun 1981 lalu
Kisah William dan Kate serupa kisah negeri dongeng. Keduanya berasal dari latar berbeda. William seorang bangsawan, cucu Ratu Elizabeth II, yang disebut-sebut akan masuk daftar pemimpin Kerajaan Inggris setelah ayahnya Pangeran Charles. Sementara Kate Middleton bukanlah bangsawan. Ia hanyalah wanita dari latar keluarga kelas menengah, namun memiliki kualitas kecerdasan, kebijaksanaan, serta kedewasaan, yang kemudian membuat William jatuh hati. Sebagaimana Lady Diana, ibu William, Kate didaulat media sebagai metamorphosis Cinderella di abad modern. Pantas saja jika pernikahan itu dinantikan banyak orang.

Pernikahan ini disebut akan dikemas dalam tradisi kerajaan yang sudah berusia ratusan tahun. Konon, Kate akan pergi ke Westminster Abbey dengan mobil pada 29 April mendatang dan kemudian berkeliling ke mal, parade kuda, Whitehall, dan gedung parlemen. Lalu, Uskup Agung Canterbury akan menikahkan William dan Kate. Uskup London akan memberikan nasihat pernikahan, yang semua itu dipimpin oleh petinggi Westminster. Setelah itu, pasangan tersebut akan menuju Istana Buckingham untuk menggelar resepsi pribadi, bersama keluarga, dan teman-teman dekatnya. Akan ada dansa, pameran seni, serta pesta pora beberapa malam.

Pernikahan ini memang disebut sebagai pernikahan termahal. Reader Digest menampilkan liputan tentang permata-permata yang dikenakan oleh Kate di hari penting itu, gaun-gaun mewah, properti kerajaan, ritual pernikahan, serta pesta besar menyambut pernikahan. Juga diberitakan tentang hasrat para selebiritis dunia yang ingin sekali diundang di acara ini. Jauh-jauh hari, Elton John mengklaim telah diminta untuk menyanyi di acara ini, meski belakangan pihak Istana membantahnya. Kemudian Victoria Beckham dan David Beckham sampai harus mengemis-ngemis agar bisa diundang. Ada begitu banyak kisah tentang selebriti yang sangat ingin diundang berpartisipasi di acara megah ini dan tidak mungkin semuanya dipaparkan di sini.

Lapis-Lapis Realitas

Kate Middleton
Saya melihat bahwa banyak pula pernikahan mewah, namun masih kalah heboh dari pernikahan ini. Makanya, saya lebih suka melihat pernikahan ini sebagai titik pusat gravitasi perhatian masyarakat dunia yang dikonstruksi oleh media massa. Begitu derasnya liputan media, membuat pernikahan ini serasa pernikahan impian yang diinginkan semua orang. Bahkan di negeri seperti Indonesia, yang jauh dari kiblat kekuasaan Kerajaan Inggris, berita pernikahan William dan Kate tetap saja menjadi berita besar yang dibahas terus-menerus. Nah, saya melihat di balik pernikahan megah ini terdapat beberapa lapis realitas yang isyarat penting demi menjelaskan situasi zaman kita hari ini.

Pertama, pernikahan ini adalah selubung indah dari kapitalisme. Sebagaimana pernah dikemukakan sosiolog George Ritzer, kapitalisme hadir lewat bujuk rayu dan kisah serupa negeri dongeng. Makanya, pernikahan ini bukan cuma sesuatu yang alamiah sebagaimana pertemuan dua insan, namun sudah bertransformasi sebagai arena kontestasi yang menawarkan display dari berbagai produk yang diluncurkan secara bersamaan. Pernikahan ini menjadi catwalk besar sehingga semua produk-produk mahal dipamerkan hingga menggoda banyak pesohor dunia.

Beberapa perusahaan seperti Alcatel meluncurkan ponsel khusus yang disesuaikan dengan momen pernikahan kerajaan antara William dan Kate. Selain ponsel, perusahaan elektronik General Electric (GE) juga membuat sebuah kulkas dihiasi gambar pasangan William dan Kate. Kalau anda membaca liputan media terbaru, di situ ada cerita tentang mereka yang terlibat di pernikahan, seperti perusahaan pembuat film dokumenter, perusahaan penyedia karangan bunga, perusahaan penyedia pasukan pengamanan, hingga –yang menakjubkan– perusahaan penyedia permata safir biru yang dikenakan Kate Middleton. Permata yang kemudian menjadi trend, banyak perusahaan yang membuat duplikatnya yang lalu laris manis di Inggris dan Eropa.

Kedua, pernikahan ini kian menegaskan bahwa masyarakat kita memang masih menyenangi sesuatu yang disebut dongeng. Masyarakat kita sudah bertransformasi dengan amat cepat, akan tetapi tetap saja membutuhkan kisah-kisah yang romantis serupa kisah negeri dongeng. Sejauh pengamatan saya, terdapat begitu banyak liputan media yang menggambarkan kisah romantic mereka.

Kisah mereka digambarkan putus nyambung hingga beberapa kali selama beberapa tahun. Mereka diketahui pacaran tahun 2005 ketika bermain ski es di Swiss. Selanjutnya putus lagi di tahun 2007 saat Kate melihat foto Pangeran William yang memeluk seorang wanita cantik di klub. kate memutuskan cinta mereka. Kate mengekspresikan kesedihannya dengan menjadi pribadi yang berbeda. Kate yang dikenal sebagai wanita berpakaian santun tiba-tiba ketahuan berpesta gila-gilaan dengan saudaranya, Pippa dengan menggunakan rok mini.

Kate dikenal sebagai “Waity Kattie”, istilah karena Kate setia menunggu William dan percaya bahwa William memang untuknya. William pada akhirnya menyadari betapa ia telah kehilangan Kate setelah melihat foto-foto Kate yang menikmati hidup. Dibalik foto-foto ceria Kate, sesungguhnya Kate merana. Tiga bulan setelah perpisahan tersebut, William mengundang Kate ke pesta kostum di baraknya di Bovington, Dorset, Inggris. Sejak saat itu, mereka kembali sebagai pasangan.

Puncaknya adalah ketika William melamar Kate saat mereka berlibur di Kenya. William menyembunyikan cincin milik ibundanya (Lady Diana) yang dulu digunakan Prince Charles saat melamar Lady Diana pada tahun 19821. William melamar Kate dengan sangat romantis dan personal, meski mereka enggan bercerita detailnya seperti apakah Sang Pangeran berlutut saat melamar Kate dan mengenakan cincin tersebut di jari manis Kate. Wow.. It’s so romantic!

Ketiga, industri kapitalisme selalu saja membutuhkan ikon untuk selalu mengundang hasrat public. Industri media selalu membutuhkan Cinderella baru untuk memantik simpati public sehingga deg-degan mengikuti kisah ini. Jika beberapa tahun silam, Lady Diana menjadi ikon Cinderella itu, maka gelar itu akan jatuh ke Kate Middleton. Beberapa bulan lalu, saya membaca liputan Yahoo yang berjudul Is Kate Middleton the new Princess Diana? Sementara tabloid The Sun juga menulis: Kate Middleton Trumps Princess Diana as queen of fashion. Pada harian lain, The Sun juga menulis: Princess Diana’s legacy to burden Kate Middleton.

Memang, banyak yang membandingkan kisah kate dengan Diana. Namun benarkah sama persis? Christopher Andersen, sang penulis buku William and Kate: A Royal Love Story, menyatakan bahwa walau keduanya sering disamakan sebagai wanita beruntung pilihan Pangeran Inggris, namun Kate dan Diana bagai dua kutub yang berbeda. “Ada perbedaan besar. Diana masih berusia 19 tahun ketika dia masuk ke dunia ini. Semua orang juga menganggapnya sudah tahu aturan karena dia adalah seorang aristokrat. Tapi dia dibiarkan sendiri. Dia tahu dari awal kalau suaminya mencintai wanita lain. Ini masalahnya dari awal. Pangeran Charles tidak mencintainya,” ungkap Andersen.

Lantas, bagaimana dengan Kate? “Dalam hal ini, Kate tidak hanya sudah 29 tahun, tidak hanya dia sudah berpacaran selama 9 tahun dengan William, tapi juga karena keduanya punya komitmen yang sangat besar bersama,” terang pria ini.  Tapi, tak bisa dipungkiri bahwa Kate dan Diana memang punya persamaan sebagai wanita yang hidup bak putri dalam dongeng. ‘Tapi nyatanya, mereka memang punya persamaan, seperti Kate yang sudah jadi ikon fashion, dan potensi yang besar untuk jadi selebriti,’ tutupnya. Hmm, apakah kita masih menganggap Kate sebagai duplikat Diana?

Pada akhirnya, pernikahan ini adalah sebuah panggung besar yang menjadi arena display dari industri dan produk. Meskipun sebagai konsumen media kita jenuh menyaksikannya, namun selalu saja hadir kisah-kisah romantic yang memantik hasrat ingin tahu dan kekaguman tentang betapa mewahnya pernikahan ini. Kisah Cinderella itu hanyalah pemantik agar kita terus setia mengikuti perkembangan pernikahan ini serta tergoda untuk memiliki salah satu permata yang dikenakan Kate Middleton. Dan di saat bersamaan, kita kemudian melupakan segala problem yang sedang mendera hidup kita, melupakan timbunan masalah yang menyesakkan hari-hari kita. Yah…. Ini memang bukan zaman Cinderella. Tapi selalu saja ada Cinderella yang terlahir di muka bumi ini untuk menghipnotis kita. Dan hari ini, Cinderella itu bernama Kate Middleton.(*)


Jakarta, 30 Maret 2011
setelah lebih dua bulan vakum dari Kompasiana

2 komentar:

Dwi Ananta mengatakan...

Pasti pernikahan mereka melelahkan :p Saya gak mau deh, pasti capek.

Yudi Darmawan mengatakan...

cinderella masa kini..

Posting Komentar