HARI ini saya belajar melatih kesabaran. Ketika berkendara sepeda motor di satu ruas jalan di Yogyakarta, ban motor tiba-tiba pecah. Saya dan sahabat Dambo lalu mendatangi tempat tambal ban terdekat. Di situ, seorang pria ringkih dengan tenaga yang sudah mulai aus mulai bekerja untuk menambal ban.
Bapak itu berusia sekitar 80 tahun, sebuah usia yang cukup sepuh untuk bekerja. Tenaganya sudah tidak kuat. Tapi saya tetap mempercayainya untuk menambal ban motor. Ia bekerja dengan tenaga yang tersisa, dan nampak kalau tidak seberapa ahli menangani ban motor yang pecah. Saya memperhatikannya dengan prihatin.
Ia bekerja selama dua jam. Saya tak tega melihatnya bekerja keras sembari sesekali menyeka pelh di keningnya. Mungkin karena faktor usia, ia tidak seberapa profesional. Untuk memasukkan pentil ban motor ke lubangnya, ia kepayahan hingga saya dan Dambo turun tangan membantunya. Saya melihat wajah Dambo mulai gelisah. Ketika menoleh, saya langsung tertawa dan terpingkal-pingkal. Saya tak mau ikut-ikutan pusing melihat kerja pak tua ini. Dambopun ikut tertawa. Hari kami belajar bagaimana bersikap sabar hingga bersedia menunggui kerja melelahkan pak tua ini hingga dua jam lamanya.
Usai menambal ban, kami menyodorkan uang pecahan Rp 10.000. Bapak itu terharu dan hendak menolak. Namun kami tetap memberikannya atas pelajaran kesabaran yang sudah diberikannya. Setelah itu, kami langsung tancap gas. Baru berjalan sekitar 30 meter dan baru melintasi satu tikungan, tiba-tiba ban motor yang sama dan baru ditambal itu kembali kempes. Apakah pelajaran kesabaran yang kami terima belum tuntas?
1 komentar:
memang kanda yus, mengendarai motor kanda Syamsul Anam memerlukan kesabaran, (sering pecah ban)...mungkin di Jogja tepat melatih kesabaran itu...:)
salam hangat
Posting Komentar