Merawat Masa Silam di Yogyakarta

di satu sudut Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat


BARANYA masih hangat. Saya datang ke Yogyakarta, beberapa bulan setelah polemik tentang RUU Keitimewaan Yogyakarta. Di bebrapa sudut kota, saya masih menyaksikan spanduk besar bertuliskan Ijab Qabul Kesultanan Yogyakarta ke NKRI. Masih sempat pula saya saksikan spanduk bertuliskan Referendum Harga Mati.

Yogyakarta memang sebuah kota yang tenang. Inilah kota yang menyandang status sebagai daerah istimewa serta menyandang beban kutlural sebagai pewaris khasanah kekayaan tradisi Jawa. Kota ini berpijak pada dua sisi penting. Di satu sisi, kota ini sama halnya dengan kota lain yang terus bergeliat ke depan dan terus memodernisasi dirinya. Di sisi lain, kota ini juga hendak menyelamatkan masa silam. Bukan sekedar menjadi museum bagi anak cucu, namun juga bagaimana merevitalisasi serta mengupayakan agar kebudayaan tetap berdenyut.

Benarkah masa silam masih berdenyut di Yogyakarta? Saya justru meragukannya. Masa silam yang hadir di Yogya adalah masa silam yang serupa museum, serupa benda-benda bersejarah yang dipamerkan, namun kehilangan aura magis. Di sana memang ada Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat. Akan tetapi keraton hanyalah sebuah rumah yang dahulunya menjadi pusat kekuasaan. Keraton sudah tidak punya kekuasaan. Sebab kekuasaan sudah lama pindah ke kantor gubernuran. 

Memang, penguasanya adalah seorang sultan, namun sang sultan tak punya pengaruh sebagaimana leluhurnya. Secara administratif ia hanyalah per-panjangan tangan pemerintah pusat yang secara rutin memberikan pertanggungjawaban. Pada hari ini, Keraton Yogyakarta, sudah lama kehilangan aura magis. Kisah tentang garis imajiner antara keraton dengan Merapi dan Laut Selatan sudah lama menjadi mitos. Pada hari ini, Yogyakarta sudah sangat rasional sehingga mengadopsi segala kemodernan dan menafikan masa silam yang lebih dilihat sebagai museum dan atraksi wisata.

Makanya, saya menanggapi pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) –yang hendak menghapus keistimewaan Yogya-- sebagai hal yang wajar saja. Presiden kita --yang selalu menjaga citra itu-- hanya keseleo lidah ketika menyebut monarki. Tapi substansi pembicaraannya justru sangat tepat ketika mempertanyakan ulang desain pemerintahan di sana. Memang, apa yang nampak di sana serba tanggung. Di satu sisi menyebut nama keistimewaan, namun tafsiran keistimewaan itu hanyalah posisi Sultan dan Pakualaman. Di luar itu, sama saja dengan apa yang terjadi di tempat lain. Kita masih bisa temukan banyak dinas yang fungsinya sebagai perpanjangan pemerintah. Kita juga bisa menyaksikan bagaimana gurita birokrasi yang menjadi hambatan dalam pelayanan publik.

Lantas, apa yang tersisa pada Yogyakarta hari ini? Masih adakah pasukan khusus yang dulu menggetarkan bala tentara VOC? Masih adalah putri-putri yang mandi di Taman Sari? Masih adakah para empu yang kesaktiannya tersohor di seantero jagad? Masih adakah para penambahan senopati dan para tumenggung yang tugasnya adalah menjaga kedaulatan wilayah dari mara bahaya? Semuanya menjadi serpih yang segera lenyap saat ditiup angin.

Di sana, yang nampak adalah sebuah kota yang mulai bergegas seperti Jakarta. Tradisionalitas yang dikemas sebagai industri pariwisata, dan keramahtamahan yang mulai tergerus oleh modernisasi dan mal-mal yang memenuhi jalanan kota Yogyakarta. Yang tersisa di sana hanyalah masa silam yang dirawat di masa kini sebagai museum yang menarik para wisatawan.

Meningat Yogya, sama dengan mengingat ulang lagu yang amat menyentuh dari Kla Project. Mereka juga mempertanyakan banyak hal yang hilang di kota ini. Sebagaimana mereka, sayapun mengais-ngais fakta apa yang tersisa sebagai jejak kota ini.


Musisi jalanan mulai beraksi
Seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri
Ditelan deru kotamu ...

…..
Walau kini kau t'lah tiada tak kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu abadi
Ijinkanlah aku untuk s'lalu pulang lagi
Bila hati mulai sepi tanpa terobati


0 komentar:

Posting Komentar