Mengapa Harus Pulang Kampung?

BANYAK yang bertanya, mengapa saya harus memilih pulang kampung? Jawabannya agak panjang dan sulit diurai di sini. Tapi, setelah saya renungi, semua kenyataan yang mengharuskan saya pulang memiliki relasi yang sangat kuat. Semua pengalaman yang saya alami memiliki kesalinghubungan dan koneksi yang erat sehingga saya tiba pada kesimpulan akhir untuk segera pulang. Saya hanyalah bagian kecil dari simpul-simpul koneksi yang bekerja dan memberikan pilihan-pilihan buat saya.

Dua hari yang lalu, saya ditelepon pihak Sekretariat Jenderal DPR RI di Jakarta. Mereka meminta saya untuk segera ke Jakarta. Aplikasi yang saya ajukan untuk menjadi staf ahli di Komisi X DPR RI ternyata bersambut. Mereka meminta saya segera berkemas dan harus hadir keesokan harinya. Gajinya lumayan besar. Untuk sesaat saya jadi bimbang. Lima bulan yang lalu, saya memang mengirimkan lamaran ke gedung dewan. Menurut informasi, pengumumannya adalah seminggu setelah pemasukan berkas. Setelah menunggu seminggu tak ada kabar, saya menduga tidak lulus. Selanjutnya saya memilih tes PNS di daerah.

Ternyata, menurut staf Setjen DPR, sampai kini belum ada panggilan karena masih menunggu permintaan dari Ketua Komisi X. Ketika permintaan itu datang, nama saya lalu muncul di daftar paling atas. Saat menjawab telepon itu, saya memberi dua alasan. Pertama, saat ini saya tak bisa ke mana-mana. Untuk ke Jakarta, saya harus menyiapkan waktu barang seminggu dari sini. Harus ke Makassar dulu, selanjutnya cari pesawat ke Jakarta. Kedua, sejak awal saya berpikir bahwa pintu menjadi staf di DPR sudah tertutup, sehingga saya lalu memutuskan untuk pulang kampung. Entah, apakah pihak Setjen DPR paham dengan alasan saya, yang jelas mereka menelepon sampai dua hari berturut-turut demi menanyakan apakah saya bersedia ke Jakarta ataukah tidak.

Panggilan itu membuat saya bertanya-tanya, mengapa saya harus bertahan di kampung sekecil ini. Semakin merenung, saya tiba pada kesimpulan bahwa ”everything is connected.” Ada semacam jaringan kasat mata yang bekerja dan menginginkan saya untuk segera kembali ke kampung halaman.

Saat bekerja sebagai jurnalis, saya selalu tidak betah dengan beban kerja yang tinggi, kemudian saat memilih kuliah di pascasarjana UI, saya lalu memilih antropologi, dan bukan komunikasi –disiplin ilmu yang saya geluti. Padahal, dengan memilih tema antropologi, saya akan selalu berpaling ke kampung-kampung, sementara saat itu, saya belum punya rencana untuk pulang kampung. Ini aneh.

Saat memilih tema penelitian, saya tiba-tiba bergeser dari tema kebudayaan Bugis yang sebelumnya saya rencanakan. Tiba-tiba saya memilih tema kebudayaan Buton, yang kemudian membuat saya harus selalu pulang kampung. Kemudian, saat berada di Buton, tiba-tiba saja saya diajak teman-teman untuk menyusun buku tentang Buton. Tiba-tiba saja saya dikenal banyak orang karena keberadaan buku tersebut. Saya lalu menjalin hubungan keakraban dengan walikota. Bahkan, saya juga mulai dikenal oleh para peneliti dan pengkaji Buton. Saya juga membangun lingkar intelektual dan lingkar pergaulan dengan banyak orang, termasuk anak-anak muda. Semuanya adalah jaringan yang sedang bekerja.

Mulanya, saya memilih untuk tetap bertahan di Makassar. Saya lalu ikut seleksi pengajar di sebuah universitas negeri. Meskipun nilai saya yang terbaik, entah kenapa, tiba-tiba saya saya gagal pada tes akhir. Saya tak habis pikir mengapa bisa gagal. Padahal, saya sangat yakin bahwa saat itu, saya adalah yang terbaik. Seorang kawan membisiki bahwa seleksi pengajar di kampus itu bernuansa KKN. Saya mesti menerima kenyataan itu. Lagi-lagi, sang pengajar di Unhas meminta saya untuk bertahan. Katanya, akan ada penerimaan pada tahun ini. Tenyata tidak ada. Pengajar itu lalu meminta saya untuk menunggu setahun lagi. What..?? Menunggu setahun. Saya memilih tidak. Lagian, kalaupun menunggu, tak pernah jelas apakah bisa masuk ataukah tidak. Saya tidak mau sebodoh seorang senior yang menunggu 12 tahun untuk lulus. Kampus itu penuh koneksi.

Semua kenyataan ini kian menguatkan saya untuk pulang. Bukannya tidak bisa bersabar. Saat ini, saya sangat membutuhkan pekerjaan demi sebuah rencana yang hendak saya wujudkan. Dalam situasi yang tidak jelas itu, datanglah sebuah telepon dari teman di kampung. Segera kembali karena ada seleksi pegawai di daeah. Katanya, saya punya peluang besar untuk lulus. Aneh bin ajaib. Saya lulus tanpa mengeluarkan uang sepeserpun. Padahal, rumor yang beredar, seorang lulusan S2 mesti menyiapkan uang sampai 60 juta untuk lulus.

Nah, ketika muncul pertanyaan mengapa harus pulang? Jawabannya adalah ”everything is connected.” Bahwa semua pengalaman dan perkembangan intelektualitas saya telah menggiring saya pada keputusan untuk pulang kampung. Bahwa ada satu skenario besar yang menggiring saya untuk tiba pada keputusan ini. Bahwa ada ’tangan tak terlihat’ yang membawa saya untuk tiba pada titik ini, dan meninggalkan sejumlah obsesi yang penah saya impikan. Entah, apakah ini menjadi keputusan ini tepat ataukah tidak. Hanya Yang Maha Menggenggam yang tahu mana jalan terbaik.(*)


0 komentar:

Posting Komentar