Sekeping Cinta untuk Bilqis


KADANG-kadang kita pesimis saat membayangkan bagaimana bangsa ini ke depan. Hampir setiap hari kita dijejali dengan informasi tentang kebobrokan bangsa. Benak kita juga dipenuhi komentar pesimis dari para pakar yang kesemuanya kian membuat kita kehilangan asa atas bangsa ini. Negeri ini seolah rusak, pemimpin dan warganya sama-sama saling serang dan saling memangsa. Diam-diam, saya bertanya-tanya dalam hati, apakah masih ada harapan buat bangsa ini ke depan? Masih adakah manusia-manusia baik di negeri ini?

Hari ini, tanpa sengaja, saya menyaksikan tayangan yang sungguh menggugah nurani. Seorang anak kecil bernama Bilqis sedang sakit parah dan harus menjalani aneka operasi berat untuk mencangkok hatinya. Dalam usia sekecil itu --usia di mana seorang anak tengah lucu-lucu dan manja--, ia harus pasrah menghadapi pisau bedah. Ia merintih, namun tak berdaya. Tangisan Bilqis adalah tangisan untuk mencoba bertahan hidup dan menghadapi semua penyakit yang dideritanya.

Saya tersentuh dengan ketabahan orang tuanya, Dewi Farida dan Donny Passa, menggalang dukungan melalui berbagai jejaring informasi. Terinspirasi dari upaya Prita Mulyasari saat menggalang dukungan publik demi melawan hukum, mereka lalu bergerilya di dunia fesbuk. Dengan tema Koin Cinta untuk Bilqis (KCB), mereka mengajak semua orang untuk peduli pada jiwa kecil yang sedang sakit kita. Publik terhenyak.

Melalui grup “Koin Cinta Bilqis” yang dibuat sejak 25 Desember 2009, simpati pun berdatangan dari penghuni dunia maya itu. "A liver to live forever" adalah motto gerakan itu. Satu hati untuk kehidupan selamanya. Gerakan di Facebook itu membesar. Gayung bersambut. Tanpa perlu komando pemerintah, masyarakat menggalang dukungan. Saya menyaksikan bagaimana anak-anak muda mengumpulkan sumbangan di jalan-jalan, para pengamen yang mengumpulkan koin, hingga anak-anak di satu taman kanak-kanak yang mengumpulkan koin untuk Bilqis. Semuanya bergerak karena cinta.

Saya merinding saat membayangkan gerakan sosial yang begitu dahsyat itu. Saya tergetar saat membayangkan cinta yang demikian dahsyat. Mereka bukanlah keluarga Bilqis dalam pengertian sebenarnya. Tapi mereka adalah keluarga yang penuh limpahan cinta untuk sesamanya. Cinta mereka telah menjadi mercusuar yang kemudian menggerakkan mereka untuk peduli pada sesamanya. Ternyata negeri ini tidak pernah kekurangan orang-orang baik yang berani melakukan sesuatu untuk sesamanya. Negeri ini masih punya stok manusia-manusia besar yang berani berbuat sesuatu melampaui kepentingan pribadinya.

Melalui media, tangisan Bilqis bergema lebih nyaring. Di berbagai kota, masyarakat bergerak. Rumah Bilqis menjadi posko bagi mereka yang siap mendedikasikan dirinya untuk membantu keluarga itu. Saya sungguh tersentuh dengan keikhlasan itu. Saya menyaksikan tayangan tentang seorang pemuda yang datang dari jauh, hanya untuk membantu. Ia tidak minta apapun. Justru ia menawarkan sesuatu. Tidak cuma koin-koin, ia menawarkan diri sebagai relawan yang membantu mengurus semuanya. Tanpa mengharap sepeserpun imbalan.

Bagi saya sendiri, koin-koin cinta itu adalah prasasti yang mengguratkan jejak abadi bahwa negeri ini selalu punya manusia-manusia besar yang bekerja tidak cuma untuk popularitas dan uang. Koin itu adalah pertanda bahwa di masyarakat kita terselip modal sosial yang kukuh, berupa solidaritas sosial yang buhulnya amat erat dan dirajut dengan cinta dan kepedulian pada sesama. Koin-koin itu adalah kepingan-kepingan cinta yang selalu mengingatkan siapapun untuk peduli pada sesamanya, dan melakukan sesuatu demi seulas senyum dan binar bahagia saudara kita sendiri. Koin cinta itu adalah lambang dari ketulusan manusia Indonesia yang ikhlas berbagi buat sesamanya. Ketulusan yang membuat kita semakin optimis membayangkan masa depan bangsa ini.(*)


0 komentar:

Posting Komentar