Kemapanan Bukanlah Segalanya

TANPA sadar, banyak di antara kita yang mendambakan kemapanan. Seluruh orbit hari-hari digerakkan untuk menggapai kekayaan dan kemapanan tersebut. Namun, bagaimanakah pendapat mereka yang sudah mapan? Apakah mereka sudah menggapai kebahagiaan? Apakah misinya sudah terpenuhi?

Dua hari lalu, saya bertemu Muh Toha, seorang karyawan senior di perusahaan pertambangan terbesar di Sulawesi Selatan yakni PT Inco. Mulanya saya tak ada niat untuk bertemu dengannya. Saat bermalam di Malili, Luwu Timur, saya mengaktifkan fesbuk dan menulis status yang mengabarkan posisi saya. Tak lama kemudian, muncul komentar Toha yang meminta untuk bertemu di Soroako. Ia akan mengajukan cuti selama sehari hanya untuk bertemu. Saya merasa tersanjung.

Bagi saya, Toha adalah sahabat dekat sekaligus saudara. Pada tahun 1999-2000, bersamanya saya menjelajahi banyak daerah untuk tugas-tugas penelitian. Kami sama-sama gembel dan menggelandang ke banyak tempat. Hidup hanya diperpanjang sejumlah proyek riset, namun saat itu saya sangat bahagia menjalaninya. Kini kami kembali dipertemukan nasib. Saya masih berprofesi sebagai peneliti, dan Toha sudah menjadi sosok mapan yang bekerja di pertambangan.

Saya kemudian bertemu Toha yang berbeda dengan sebelumnya. Bukan lagi Toha yang kere. Posisinya adalah superintenden di perusahaan tersebut dan memberinya kelimpahan materi berupa rumah, mobil, serta kenyamanan finansial. Namun, saat berbincang dengannya, ia sama sekali tidak terlalu bahagia dengan apa yang digapainya. Justru saat ini ia merasa iri dengan aktifitas saya yang bisa membawa saya ke mana-mana secara bebas.

“Bagi orang yang belum mapan, seolah-olah kemapanan adalah segalanya. Setelah orang itu mapan, maka ia mulai berpikir lain. Ternyata kemapanan membawa konsekuensi, semacam penjara bagi orang tersebut,” katanya. Ia lalu menuturkan hari-harinya yang penuh kesibukan. Pada pagi hari ia sudah di kantor hingga sore, bahkan malam hari. Ia tidak punya kesempatan untuk menjalani hari-hari yang penuh kebebasan, sebagaimana yang pernah dialaminya dulu. Di tengah kemapanan itu, ia mulai merindukan satu hal: kebebasan, sesuatu yang amat murah bagi kita dan begitu gampang diraih.

Kata Toha, di perusahaan seperti Inco, semuanya disediakan. Bahkan ketika keran air rumah bocor, maka akan ada petugas yang datang untuk memperbaiki. Demikian pula ketika anak sakit, semuanya ditanggung, tanpa harus panik mencarikan biaya pengobatan. Bahkan, saat berakhir pekan di kota besar seperti Makassar, perusahaan akan menyediakan anggaran yang bisa dihabiskan untuk berfoya-foya.

Apakah ia nyaman dengan kondisi itu? Ternyata tidak juga. Ia justru merasa kreativitasnya makin tumpul. Ia kehilangan hari-hari yang penuh gejolak dan dinamika. Dulunya, setiap bangun tidur, pikirannya akan bekerja keras memikirkan apa yang harus dilakukan untuk mendapatkan duit. Sekarang, ia harus menjalani hari-hari –yang disebutnya amat monoton. Semuanya jadi membosankan sebab pikiran terbiasa mengerjakan sesuatu yang sudah terprogram.

Selama berbincang dengannya, saya lebih banyak mendengarkan. Saya biarkan dirinya mengeluarkan uneg-uneg dan keresahannya. Di akhir pembicaraan, saya menyarankan agar dirinya keluar saja dari keterpenjaraan itu. Tapi, nampaknya pilihan itu tidak mudah baginya. Ia masih harus memikirkan bagaimana keluarganya kelak. Lagian, siapa sih yang berani meninggalkan zona nyaman?

Kata Toha, hal yang paling mendera batinnya adalah rasa kehilangan pada dunia sosial dan arus informasi. Dulunya, ia terbiasa gertemu dan berbicara ngalor-ngidul dengan rekan-rekannya. Ia amat senang kumpul-kumpul dan tertawa terbahak-bahak, bahkan untuk membahas hal yang sepele. Kini, hidupnya sudah terprogram. Di saat ada secuil kesempatan bertemu dengan saya, ia mengajak saya jalan-jalan dan saling berceroita dengan penuh gelak tawa seperti dulu. Saat itulah saya banyak merenung memikirkan hidup ini.

Pelajaran berharga yang saya petik hari ini, ternyata kemapanan bukanlah segalanya. Justru mereka yang mapan sedang mengalami terpenjara. Mereka tak punya banyak kesempatan untuk memamerkan kemapanannya sebab hari-harinya harus mengikuti format tertentu. Mereka harus menjadi karyawan yang patuh, sebab perusahaan telah mengeluarkan banyak biaya untuk itu. Pada titik inilah mereka kehilangan kebebasannya. Dan sudah sepantasnya jika saya terus bersyukur atas hari-hari yang bebas sebebas merpati. Meskipun kantong kian menipis dan sesekali harus khawatir karena uang di dompet bakal habis.(*)


Malili, 30 Januari 2009

0 komentar:

Posting Komentar