Kutukan Penggali Sumur


IBU saya menyewa sejumlah tukang untuk menggali sumur di samping rumah. Sebelumnya ia membuat komitmen bahwa biaya total gali sumur adalah Rp 7 juta. Ternyata, saat proses penggalian dimulai, sang tukang masih punya permintaan lain. Misalnya, ia hendak mengecor beton di sekeliling sumur dan butuh biaya Rp 120 ribu untuk membeli batako. Masih banyak permintaan lain. Ibu jadi ngomel-ngomel di hadapan saya dan saudara yang lain.

Adik saya ikut-ikutan marah. Ia lalu mengusulkan agar kontrak kerja sama dengan tukang harus diputus saja. Katanya, kalau permintaan tukang terus dilayani, maka biaya akan membengkak dan tidak tertanggulangi. Tapi, ibu langsung tidak setuju. Memang, ibu marah sama tukang itu, namun kalau harus memutus kontrak, ibu jelas tidak setuju.

"Kalau kita ribut sama tukang, maka ke manapun kita mencari tukang gali sumur, maka tidak akan dapat air," katanya. Di masyarakat Buton, konflik dengan tukang adalah pantangan besar. Sebab akan membawa dampak pada sumur itu sendiri. Saya pernah menyaksikan satu sumur di dekat rumah. Sumur itu tidak berair. Menurut banyak orang, sumur itu ditinggalkan oleh tukang gali gara-gara tersinggung dengan pemberi order. Meskipun sang pemilik sumur mengalihkan order pada pihak lain, tetap saja sumur itu tak berair. Kata orang, itu disebabkan ketersinggungan sang tukang.

Para ilmuwan menyebut ini sebagai mitos. Tapi anehnya, saya sering melihat fakta di balik kisah-kisah itu. Malah, tak cuma tukang gali sumur. Saya pernah melihat kapal yang hanya teronggok di tepi laut. Kata teman, pembuat kapal berselisih paham dengan pemiliknya, sehingga pembuat kapal lalu memberi 'kutukan' sehingga kapal itu tak pernah bisa melaut. Beberapa kali kapal itu dilepas ke laut, namun selalu saja oleng hingga kalau dipaksakan akan tenggelam. Kapal itu tertimpa kutukan akan susah berlayar.

Bagaimana mendefinisikan hal ini? Terlepas dari benar tidaknya kutukan tersebut, pantangan terhadap tukang ini bersandar pada ajaran moral yang menekankan keseimbangan hubungan dengan manusia. Bahwa sesama manusia harus saling menjaga perasaan dan saling memperhatikan, tanpa saling menyakiti. Bahwa seperti apapun profesinya, seseorang tersebut memiliki otoritas untuk diperlakukan sama dengan yang lain. Bahwa seorang penggali sumur sekalipun memiliki kebanggaan atas profesinya dan kesamaan kasta dengan yang lain sebagai sesaama manusia.

Keyakinan masyarakat Buton ini memang digali dari ajaran tasawuf, di mana seorang Sultan Buton sekalipun bisa merendahkan dirinya sebagaimana seorang budak, demi menegaskan posisi manusia yang sejajar di hadapan Tuhan. Dalam khasanah tasawuf Buton tersebut, saya menemukan pernyataan bahwa kesombongan hanya milik Tuhan, dan manusia tak punya hak sedikitpun untuk berlaku sombong kepada sesamanya. Ketika manusia sombong, maka ia sesungguhnya telah mengambil sifat Tuhan. Ia menyerupakan dirinya dengan Tuhan, sebuah sikap musyrik yang telah menyekutukan Tuhan dengan sesuatu yang lain yakni dirinya sendiri.

Pada akhirnya, mitos itu menyimpan hidden rationality berupa laku moral. Kalaupun ada kutukan yang mengikuti pantangan, maka itu --boleh jadi-- sengaja diciptakan untuk menjaga tatanan sosial (social order). Kutukan penggali sumur adalah sebuah mekanisme untuk tetap menjaga keseimbangan komunikasi dengan sesama manusia, sekaligus sama-sama menyadari bahwa pangkat dan jabatan hanyalah sebuah titipan tanggung jawab. Di atas segala-galanya terdapat kewajiban moral untuk saling menghargai dan tetap saling menjaga yang dilandasi kesepahaman tentang posisi manusia yang sejajar di hadapan Tuhan.

Apakah kutukan itu masih ada?

0 komentar:

Posting Komentar