Kisah Orang Cina di Pulau Buton

ENTAH sejak kapan warga keturunan Tionghoa mendiami Kota Bau-Bau di Pulau Buton. Namun, saya memperkirakan keberadaan mereka setua usia pemukiman di kota ini. Sejarah Buton sempat mencatat nama seperti Dungku Changia, yang diyakini sebagai seorang panglima pasukan Mongol yang kemudian melarikan diri. Juga nama Wa Kha Kaa, Raja Buton pertama yang berasal dari Cina dan muncul melalui serumpun bambu.

Sejarah itu cukup panjang, namun tetap belum bisa menjelaskan mengapa banyak warga Tionghoa yang bertebaran di sekitar Pasar Sentral di Bau-Bau. Mereka adalah nadi perekonomian, dan menggerakkan sektor perdagangan di kota kecil yang dulunya tersohor sebagai satu kerajaan besar di nusantara. Saya yakin, warga keturunan Tionghoa yang ada sekarang ini bukanlah keturunan Wa Kha Kaa. Karena keturunan Wa Kha Kaa sudah membaur dengan warga lokal di Wabula, yang beretnis Cia-Cia. Saya memperkirakan, keturunan Tionghoa yang ada sekarang mulai membanjiri kota Bau-Bau seiring dengan terbukanya jalur perdagangan di Nusantara, di mana Buton adalah salah satu mata rantai penting.

Ah, hari ini saya sedang melamun dan tiba-tiba memikirkan warga Tionghoa. Tadi, saya melintas ke kawasan Pekuburan Cina di Pala Tiga, belakang kompleks perumahan kuda putih. Suasananya seperti di pekuburan Cina Makassar di Antang. Ada seorang warga Tionghoa yang meninggal. Saya lalu singgah memperhatikan. Liang lahatnya ditembok semen sehari sejak sehari sebelumnya. Kemudian, mayat disimpan dalam peti dan tidak pernah dibuka sampai diturunkan ke liang lahat.





Semua keluarga pengantar mengenakan baju warna putih. Sebelumnya, mereka duduk bersila menunggu mayat dimasukkan ke liang lahat. Lalu, mereka berbaris menghadap mayat dan secara bergantian berdoa di situ. Mereka membakar hio lalu mengatupkan kedua tangan. Entah apa yang mereka baca. Di dekat liang lahat, diletakkan sesaji berupa bubur, ayam yang sudah dimasak, roti, serta ada pula sumpit di atas mangkuk makanan itu. Mereka juga membakar kertas-kertas yang mirip uang dalam permainan monopoli.

Ketika mereka bicara, saya dengarkan logatnya. Ternyata logat khas Makassar sehingga saya menduga mereka adalah orang Cina Makassar yang belakangan ini mulai membanjiri kota Bau-Bau. Mereka bersaing dengan orang Cina setempat yang sudah lama ada. Entah, apakah persaingan itu kelak akan seperti persaingan para mafia. Saya tidak tahu.




Lagi asyik memperhatikan, tiba-tiba seseorang membagikan roti dan air minum. Semua penonton dapat bagian. Kebetulan pula, perutku sedang keroncongan. Saya lalu mengambil roti itu. Wah,.... ini pemakaman yang cukup asyik. Sebagai penonton, tiba-tiba dapat air dan roti. Jangan-jangan, kalau saya bertahan sampai siang, saya bisa dapat makan siang gratis. Kalo gitu, mendingan saya tunggu sampai siang. Hehehe....(*)

0 komentar:

Posting Komentar