TAK lengkap berkunjung ke Palopo, Sulawesi Selatan (Sulsel), jika tidak mencicipi lezatnya durian. Palopo tersohor sebagai daerah penghasil durian yang menyediakan pasokan hingga ke daerah-daerah lainnya di Sulsel. Sebagai daerah produsen durian, tentunya harga durian di sini jauh lebih murah ketimbang di daerah lainnya. Dalam kunjungan ini, saya sempat singgah ke penjual durian. Saya tercengang saat diberi tahu bahwa tiga buah durian besar yang saya tunjuk cuma dibanderol seharga Rp 10.000.
Saat itu, saya ingin membelinya, sebelum akhirnya niat itu saya urungkan sebab tidak tahu bagaimana cara menghabiskannya. Saat singgah ke rumah keluarga teman, puluhan durian telah disiapkan untuk menyambut saya dan teman-teman. Jadilah, kunjungan ini sebagai pesta durian. Saya hanya sanggup makan dua buah durian yang besar. Selanjutnya saya angkat tangan sebagai tanda menyerah. Demikian pula dengan teman-teman yang lain. Terpaksa, timbunan durian itu harus kami simpan kembali di rumah itu karena tak kuasa menghabiskannya.
Setelah beberapa hari melakukan riset lapangan di Malili, Luwu Timur, saya lalu kembali ke Palopo. Seorang teman lalu mengajukan tantangan untuk mencicipi buah durian langsung dari pohonnya. Ia mengajak kami ke Latuppa, sebuah daerah yang tidak terlalu jauh dari pusat kota Palopo. Latuppa terletak di pebukitan yang penuh dengan pepohonan durian. Sepanjang perjalanan ini saya menyaksikan sebuah sungai besar yang membelah bukit itu dan mengalir hingga ke pinggiran kota. Di seberang sungai itulah saya menyaksikan begitu banyak pohon durian yang berdiri kokoh.
Ini adalah pengalaman pertama buat saya menyaksikan langsung durian di pohonnya. Selama ini, saya mengira durian itu adalah buah dari jenis tanaman merambat seperti semangka. Ternyata tidak demikian. Pohon durian seperti pohon kapuk, yang tinggi kokoh menjulang. Saya khawatir juga kalau-kalau ada buah yang jatuh ke kepala saat melintas di situ. Apalagi, seorang teman pernah mengisahkan rumor tentang warga setempat yang mati gara-gara kejatuhan durian. Terlepas dari benar tidaknya kisah itu, saya sempat khawatir juga kalau-kalau ada durian yang jatuh dan menimpuk kepala.
Kami ke Latuppa di saat hujan tengah rintik-rintik. Untuk menuju kebun durian tersebut, kami harus melewati jalanan yang belum diaspal. Saya turun dari mobil, kemudian berjalan kaki bersama teman Harwan. Setiap melihat lapak-lapak yang terbuat dari bambu, saya singgah dan menyakan kalau-kalau di lapak itu tersedia durian. Setelah Tanya sana-sini, akhirnya dapat juga durian yang murah. Saya membeli tiga ikat (sekitar 9 buah) dengan harga Rp 40.000. Selanjutnya, durian itu dimuat di mobil. Rencananya, durian ini tidak untuk dimakan, melainkan dihadiahkan kepada seorang gadis yang merengek manja minta durian di Kabupaten Bone.
Masalah mulai muncul saat bau durian menyengat sehingga jendela mobil tidak bias ditutup. Sepanjang perjalanan, saya merasa bersalah karena bau tersebut. Meskipun durian itu sudah dimasukkan dalam kotak kardus dan ditutup karung, tetap saja baunya menyengat. Meski sehari semalam tersiksa oleh bau menyengat itu, akhirnya durian itu tiba juga di Bone dan disambut dengan gembira. Durian itu menempuh perjalanan jauh dari Latuppa hingga Bone. And the mission is completely…
0 komentar:
Posting Komentar