Sensasi Saat Menelusuri Gua Lakasa

SAYA bukan seorang penjelajah gua yang handal. Bukan pula seorang anggota pencinta alam yang kerap menyusur gua. Namun, ketika menyusuri keindahan Gua Lakasa yang terletak di dekat Pantai Nirwana di Pulau Buton, saya dikepung satu perasaan yang berbeda. Semacam rasa petualangan yang gairahnya meletup-letup. Mungkin inilah yang dialami para penyusur gua. Semacam rasa petualangan yang nikmat dan menimbulkan ketagihan.


Telah lama saya memendam keinginan menelusuri Gua Lakasa. Tapi, baru dua hari yang lalu rasa penasaran itu terpuaskan. Bersama tiga orang sahabat yakni Dambo, Epri, dan Lulu, saya merencanakan penelusuran ke gua ini. Sehari sebelumnya, kami sempat tersesat. Tapi, setelah tanya sana-sini, akhirnya bisa pula saya temukan jalan menuju Gua Lakasa. Malah, jalan menuju gua sudah dibenahi. Sudah ada tempat parkir serta jalan setapak yang apik menuju gua. Maka kesanalah kami memulau petualangan.



Mulanya, saya berpikir bahwa gua ini sudah dibenahi pemerintah. Misalnya sudah dibuatkan jalan yang cukup memadai. Saya membayangkan gua-gua yang berisi kerangka mayat di Toraja. Karena seringnya dilalui wisatawan, gua-gua Toraja jadi tidak angker. Tak ada sensasi selain dari melihat keranda mayat yang berserakan. Jaraknya juga pendek.




Nah, Gua Lakasa menyajikan pemandangan berbeda. Begitu mulai memasuki gua, saya terkejut dengan lubang pintu masuk yang hanya seukuran orang dewasa. Itupun, kita mesti jongkok untuk bisa masuk. Baru masuk semeter, jalanan lalu curam ke bawah. Kita mesti berhati-hati. Gelap minta ampun. Tak ada setitik cahaya. Untungnya, kami membawa dua senter yang kemudian berperan amat vital untuk memandu perjalanan.

Gua ini cukup panjang. Kami terus jalan menurun dengan lereng yang terjal dan curam. Dinding gua lembab. Berair. Saya sempat khawatir kalau-kalau banyak ular yang berumah di gua itu. Makanya, pandangan saya jadi liar ke kiri ke kanan. Pada beberapa tempat, saya menemukan stalagtit yang menggantung di langit-langit gua. Di bawahnya ada pula stalagnit yang berbentuk tombak. Saya pernah membaca artikel bahwa terbentuknya batuan itu bisa memakan waktu sampai ribuan tahun. Makanya, saya sangat menyesalkan ketika menemukan beberapa stalagtit yang patah di beberapa sudut gua. Ini aksi vandalisme yang merusak keindahan gua dan memutus proses terbentuknya batu yang sudah berjalan selama rubuan tahun.

Kami terus masuk ke dalam. Kami mesti ekstra hati-hati. Sebab beberapa kali kepala teman menanduk batu yang runcing itu. Perasaan saya seperti perasaan tokoh dalam fiksi karya Jules Verne yang berjudul The Journey to the Center of Earth. Baru-baru ini, naskah tersebut telah difilkan dengan bintangnya Brendan Fraser. Meskipun kisah karya Jules Verne itu hanya fiksi, namun kisah itu telah mendorong proses eksplorasi atas apa-apa yang tersimpan di perut bumi. Kisah itu menginspirasi banyak orang termasuk saya yang sedang menyusuri Gua lakasa. Seperti karya Verne, perjalanan saya ini juga semacam perjalanan menuju pusat bumi.

Saya juga membayangkan mitos Yunani tentang Dewa Hades, penguasa alam kegelapan, penguasa perut bumi. Saya takut kalau-kalau Hades tiba-tiba murka dan membuat gempa yang meruntuhkan dinding gua. Kami bisa terperangkap. Saya lalu menoleh ke atas dan melihat pintu masuk yang kecil di kejauhan. Kalau Hades murka, maka bisa saja pintu itu ditutup dengan batu sehingga kami tak bisa keluar. Saya juga sempat membayangkan, jangan-jangan inilah gua yang menyimpan lampu wasiat, yang kemudian ditemukan Aladin. Banyak hal yang menjadi bahan pikian saya saat itu.

Kami terus menyusuri gua. Perjalanan agak lambat karena kami sibuk mengira-ngira di mana rute yang sebenarnya. Untungnya, di dinding gua terdapat kabel yang mengarah ke lampu di sejumlah tempat. Kabel itu lalu menjadi pemandu ke arah mana kami bergerak. Jalannya masih tetap licin dan curam. Dindingnya masih berair. Telinga saya sempat mendengar bunyi tetes-tetes air atau suara logam yang dipukul-pukul. Mungkinkah itu halusinasi? Ternyata tidak. Semakin jauh ke dalam, saya lalu menemukan tetes air di atas batu. Kemudian banyak batu kapur yang agak tipis menempel di dinding gua. Ketika disentuh, tersengar bunyi seperti logam beradu.

Jelang titik akhir perjalanan, saya sempat tertahan di dekat sebuah batu besar. Saya mesti sangat berhati-hati melewati batu besar yang curam tersebut. Demikian pula teman-teman. Andaikan ada yang jatuh dari batu itu, pastilah akan cedera serius sebab ada begitu banyak batu cadas di gua ini. Akhinya, kami sampai juga di titik akhir perjalanan yakni sebuah telaga yang amat indah. Ini telaga yang terunik yang pernah saya temukan. Sebuah telaga yang terletak di dasar sebuah gua, pada kedalaman yang tidak banyak dijelajahi orang- orang. Sebuah telaga yang sangat indah.

Saat di dasar gua itu, saya merasakan sebuah hikmah. Jika ingin mendapatkan kenikmatan yang besar, maka bersedialah melalui jalan yang terjal. Jika ingin menikmati indahnya telaga di dasar Gua Lakasa, maka besiaplah memulai perjalanan yang mendebarkan. Temasuk perjalanan menembus dasar bumi yang curam.(*)

0 komentar:

Posting Komentar