Globalisasi Ataukah Lokalisasi???

Semalam, aku pergi ke Gedung Kesenian menyaksikan Festival Anti Globalisasi. Temanku Dul dan Anto menungguiku di sana.

Aku bergegas dengan mengendarai suzuki smash yang hampir delapan bulan mengantarku ke mana-mana. Ini Sabtu, Dwi lagi di Bone, aku butuh sesuatu yang bisa memadamkan sepi.

Gedung Kesenian sangatlah ramai. Di gedung, yang arsitekturnya seperti arsitektur Eropa ini, suasananya penuh hingar bingar.

Di aula, ada panggung dan dibelakangnya dipasang gambar bendera Amerika Serikat (AS) yang terbalik. Kemudian musik berdentum dari sejumlah anak muda yang menyanyi sembari berjingkrak.

Di depan panggung, puluhan anak muda lain ikut berjingkrak mengikuti hentakan musik. Rambutnya dicat dengan berbagai warna. Bagian tengahnya sangat menonjol seperti jambul ayam. Ini identitas dari anak-anak Punk.

Mereka bergoyang dengan begitu bebas. Aku mengenali penabuh drum di situ sebagai seorang sahabatku di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Ia cerdas dan menyimpan bara perlawanan. Musik menjadi medium baginya untuk melakukan pelepasan.

Ia menyanyi dengan penuh energi. Lagunya sukar dipahami. Lebih banyak teriakan-teriakan yang diikuti musik. Di beberapa bagian, temanku itu berteriak dengan nyaring. Teriakannya langsung diikuti oleh yang lain sambil mengacungkan tinju kepal.

Seorang dosenku yaitu Kak Yahya sempat memprotes. Ia berkata,"Masak merayakan antiglobalisasi dengan cara memamerkan berbagai produk globalisasi. Apakah tak ada cara lain?"

Aku cuma tersenyum. Toh, setiap orang bebas berekspresi. Aku cuma bisa melihatnya sebagai bagian dari ekpresi bebas untuk menyatakan sesuatu. Tak sadar, aku juga larut dan ikut menggoyangkan kepala.

Kadang-kadang kupikir kalau Kak Yahya benar juga. Globalisasi terus menjadi wacana yang paradoks di sini. Kita malu-malu menyatakan penolakan tapi terus memamerkan ketakberdayaan kita di hadapan berbagai instrumen globalisasi.

Betapa anehnya menyatakan kebencian pada globalisasi sembari meminum coca-cola. Sembari menyanyikan lagu-lagu barat. Bukankah globalisasi harus dilawan dengan mencari energi kreatif yang berasal dari dalam diri?

Berbagai hipotesis dan kerangka teoritis hanyalah penghampiran untuk mendekati kenyataan. Aku kadang miris melihat mereka yang menolak globalisasi. Rasanya aneh jika terus meneriakkan anti tetapi masih memakai jeans, baju impor serta aksesoris lainnya. Bahkan, bagiku punk bukanlah produk yang berasal dari rahim negeri ini. Itu juga impor dari tempat lain.

Tokoh yang layak disebut pejuang anti globalisasi adalah GANDHI. Ia membangun spirit perlawanan bangsa India dengan memunculkan gerakan perlawanan khas India.

Ia menyerukan penolakan terhadap berbagai produk asing dengan cara yang elegan. Ia hanya memakai pakaian selembar kain khas India sebagai tanda mencintai khasanah lokalitas. Gandhi menawarkan kesantunan dan kesederhanaan atas keangkuhan Eropa dengan teknologinya.

Gandhi adalah manusia besar yang bisa dihitung jari. Ia membongkar tesis kalau abad 21 adalah abad di mana manusia kehilangan berbagai variabel nilai selaku mercu suar. Abad di mana manusia terjebak pada filsafat materialisme yang cetuskan Rene Descartes.

Gandhi memang unik. Gerakan perlawanan itu digali dari inspirasi lokalitas. Yah lokalitas. Mungkin ini bisa menjadi anti tesis dari globalisasi. Tidak sekedar mencari konsep perlawanan ala luar negeri untuk menjawab masalah di dalam negeri.

So, adakah Gandhi di negeri ini? Entahlah. Tanyalah pada rumput yang bergoyang.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

yusran, orang jepang bilang: sederhana itu abadi.

Posting Komentar