Jogja-ku yang Hilang

Pulang ke kotamu
ada setampuk haru dalam rindu
masih seperti dulu
tiap sudut menyapaku bersahaja, penuh selaksa makna
musisi jalanan mulai beraksi
seiring laraku kehilanganmu....


DI tahun 1995, aku memasuki Kota Yogya sembari mendendangkan lagu dari Kla Project berjudul Yogyakarta.

Lagu ini begitu puitis. Ada keperihan dan rasa tidak percaya melihat kota ini yang kian bersolek. Ada rasa kehilangan yang terpancar lewat lirik yang begitu kuat.

Dulu, aku mendengar lagu ini dengan agak sinis. Bagiku, tak ada yang benar-benar hilang dari kota ini. Semuanya berjalan lewat satu mekanisme yang linear dan menjadi keniscayaan.

Aku ingat betul. Saat itu, Malioboro Mall tengah dibangun di Jalan Malioboro dan menggusur begitu banyak pedagang yang menggelar dagangan di pasar tradisional. Betapa logika kapitalisme dan ekonomi telah menghempaskan elemen tradisional dan nyaris kehilngan ruang.

Mbok-mbok bakul harus kalah oleh satu mekanisme yang begitu perkasa dan tidak memberi sedikit celah buat mereka demi meletakaan dagangan. Sejalan dengan itu, jalan ini mengalami renovasi besar-besaran.

Pasar Beringharjo ikut dibenahi. Getar kesenian tradisioanl khas Jawa yang memancar dari tempat ini mulai dipertanyakan banyak kalangan. Bahkan gedung kesenian Senisono harus digusur demi membangun berbagai pranata modernitas.

Kini, rentang waktu sepuluh tahun berikutnya, aku kembali di tempat itu. Takdir menggiringku kembali ke situ. Dan, aku harus bersepakat dengan Kla Project.

Betapa banyak tempat yang dulunya penuh jejakku, kini menghilang. Aku ingat, dulu di Jalan Solo ada bioskop murah bernama Royal. Bioskop itu, karcisnya hanya Rp 500 dan dipadati mahasiswa kere sepertiku.

Di depannya, ada bioskop yang cukup elite yaitu Empire 21 dan Regent 21. Kini, dua bioskop itu telah lenyap. Menurut seorang kawan, bangunan itu telah terbakar hingga akhirnya berganti dengan bangunan lain.

Itu belum seberapa. Berjalanlah di sore hari di kota ini. Betapa terasa kalau penduduk kota bertambah dengan cepat. Kalau dulu, tak begitu banyak orang, kini begitu ramai dan penuh manusia.

Di sepanjang sudut kota ini, selalu ada rumah kos. Selalu ada tempat mahasiswa. Semuanya berinteraksi di kota kecil itu. Kalo tak salah, beberapa waktu yang lalu beredar isu menyangkut tingginya angka seks bebas di kota ini.

Yah, Yogya adalah ikon dari pertarungan abadi antara modernitas dan nilai. Di ota ini, masa lalu kian tak punya ruang. Semuanya digantikan oleh pranata kebudayaan baru sebagai anak kandung dari modernitas dan pemujaan budaya massa.

Meski demikian, aku juga banyak menemukan energi positif di kota ini. Warganya kian pandai dalam mengasah rasa seninya. Bagaimanapun, itulah satu-satunya mekanisme bagi mereka agar terus hidup dan bisa bertahan di tengah arus yang kian cepat putarannya.

0 komentar:

Posting Komentar