Jangan Berharap pada Partai Politik

SEBAGIAN besar partai politik (parpol) besar justru tengah berada di ambang perpecahan. Pelaksanaan kongres atau muktamar di tahun 2005, berujung pada lahirnya setumpuk persoalan yang bisa menjadi sandungan bagi upaya menjawab persoalan konstituennya.

Kisruh internal di tingkat partai politik bisa menjadi bumerang bagi proses demokratisasi di negeri ini. Seluruh dinamika internal partai politik menjelaskan banyak hal. Pertama, problem institusionalisasi atau pelembagaan politik.

Tampaknya, partai belum memiliki satu mekanisme kelembagaan yang kokoh sebagai prasyarat untuk bisa beradaptasi dalam berbagai dinamika politik. Ini membuat partai rentan dengan konflik sebagai konsekuensi dari tiadanya mekanisme peredam gejolak.

Kedua, problem representasi politik. Partai lebih disibukkan dengan berbagai konflik internal dan kurang awas dengan berbagai tuntutan hidup yang tengah dirasakan konstituennya yang selama ini diberikan janji dan bujuk rayu. Ini adalah problem representasi atau bagaimana mendengar aspirasi konstituen.

Seakan-akan partai politik lupa untuk segera melembagakan organisasinya dan memikirkan konstituen
yang membuat partai politik bermakna. Salah satu kasus yang bisa menjelaskan itu adalah ketika Presiden SBY membuat kebijakan "dentuman besar" (big bang) menaikkan harga bakar minyak (BBM) pada 30 September.

Setelah kenaikan harga BBM itu boleh dikatakan tidak banyak partai politik yang mengartikulasikan keberatan rakyat kecil yang terkena dampak langsung dentuman besar BBM itu. Praktis hanya PDI-P-
karena sejak awal memosisikan diri sebagai partai oposisi- yang konsisten mengartikulasikan keberatan rakyat atas kenaikan harga BBM.

Ta heran, jika dalam banyak situasi, banyak pengamat yang mengatakan, partai politik di Indonesia hanya kuat mnjelang pemilu setelah itu rapuh dan tak berdaya. Dari sisi kepemimpinan, hampir semua partai politik masih menganut pola kepemimpinan yang sentralistik dan personalistik.

Pemimpin partai tidak memiliki insentif untuk mengembangkan organisasi. Karena partai memiliki ikatan sosio-kultural dengan populasi, partai tidak memiliki insentif untuk melibatkan diri dalam pendidikan politik atau berdialog dengan populasi.

Tampaknya, partai politik lebih senang dengan wacana kekuasaan dan pengarh di tingkat parlemen ketimbang memikirkan berbagai persoalan yang tengah melilit konstituennya. Maka, janganlah berharap banyk pada partai jika tidak ingin tersakiti untuk kesekian kalinya.(yusran darmawan)

0 komentar:

Posting Komentar