DARI Masjid Baiturrahman, Aceh, sorak-sorai terdengar membahana. Kalam damai yang berdengung di Helsinki, Finlandia, ikut menjalar hingga negeri itu. Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sepakat untuk merajut kata damai. Menautkan dua hati yang terbelah sejak 29 tahun yang lalu.
Bumi Serambi Mekah itu dibalut suasana semarak sebab telah menuntaskan satu perhelatan besar yang tertoreh dalam jilid buku sejarah. Warga Aceh larut dalam gelora kebahagiaan. Satu kerja keras yang diretas sejak masa Daud Beureuh kini lempang terhampar di depan mata.
Padahal, Daud Beureuh adalah sahabat karib tokoh Islam Sulsel Qahhar Mudzakkar. Mereka berdua sama-sama mendirikan Negara Islam di tempat berbeda. Jika Daud di Bumi Serambi Mekah (Aceh), maka Qahhar di Bumi Serambi Madinah (Sulsel). Namun spirit dan semangat perjuangan mereka berasal dari kawah perjuangan yang sama.
Kini, Aceh menganyam semangat baru. Nota kesepahaman RI-GAM itu berisikan substansi tentang posisi Aceh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagai konsep politik, Aceh tetap berada dalam bingkai Indonesia.
Namun sebagai konsep kebudayaan, Aceh memiliki otonomi untuk menata bentuk dan pahatan kebudayaannya. Dalam istilah sejarawan Benedict Anderson, Aceh memiliki nation (bangsa) sendiri sebab ikatan kebangsaan terbentuk dari perasaan senasib antara berbagai etnis. Dalam konteks ini, rajutan bangsa Indonesia telah lama memudar di sana.
Poin kesepakatan Helsinki memberikan keleluasaan masyarakat Aceh untuk kembali memperkokoh bangunan syariat Islam di sana. Dalam satu pasal perjanjian, tertera kalau qanun Aceh akan disusun kembali untuk Aceh dengan menghormati tradisi sejarah dan adat istiadat rakyat Aceh serta mencerminkan kebutuhan hukum Aceh.
Istilah qanun juga tercantum dalam UU No 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Aceh. Istilah ini bermakna peraturan daerah sebagai pelaksanaan undang-undang di wilayah NAD dalam konteks otonomi khusus.
Qanun menjadi jembatan untuk penerapan syariat Islam di sana. Sejak hari Jumat, 1 Muharram 1423 Hijriah atau 15 Maret 2002 Pemerintah Provinsi (Pemprov) Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) resmi memberlakukan syariat Islam.
Tonggak sejarah yang dimulai pada Tahun Baru Islam itu antara lain akan ditandai dengan dimulainya kawasan wajib tutup aurat dan penulisan nama-nama toko, jalan, dan bus dengan huruf Arab dan Latin.
Tak hanya itu, penamaan satu wilayah pun disesuaikan dengan istilah lokal yang berakar pada tradisi. Mereka mulai memberi nama ulang pada wilayah, misalnya provinsi dengan nama nanggroe, kota dengan banda, kabupaten dengan nama sagoe.
Puncak dari penegakan syariat ini terjadi ketika di bulan Juni lalu, sebanyak 15 dari 26 penjudi divonis Mahkamah Syariah di Bireun bersalah karena melanggar qanun tentang maisir (perjudian). Mereka lalu dieksekusi dengan hukuman cambuk sebanyak sepuluh kali.
Memang, semuanya masih simbolik. Hanya saja, ada ikhtiar yang tampak secara perlahan-lahan untuk menjadikan Islam sebagai nafas utama kehidupan. Di Aceh, Islam menjelma menjadi elemen utama yang menyangga masyaakanya dalam ritus ke-Ilahi-an. Sebuah semangat yang pernah dipercikkan Daud Beureuh.(yusran darmawan)
Search
Pengunjung Blog
...
Tentang Saya
blogger l researcher l communication practitioner l lecturer l teacher l IFP Fellow l ethnographer l anthropologist l academia l historian wanna be l citizen journalist l Unhas, UI, and Ohio Mafia l an amateur photographer l traveler l a prolific author l media specialist l political consultant l writerpreneur l social and cultural analyst l influencer l ghost writer l an avid reader l father l Kompasianer of the Year 2013 l The Best Citizen Reporter at Kompasiana 2013 l The 1st Winner of XL Awards 2014 l The 1st Winner of Indonesian Economic Essay Competition 2014 l
0 komentar:
Posting Komentar