Hari ini, sahabatku Nasri membelikanku buku Catatan Harian Seorang Demonstran. Aku merasa kecewa berat. Buku ini telah mengalami revisi yang menjengkelkanku. Buku ini benar-benar jauh berbeda dengan terbitan LP3ES di tahun 1982 lalu.
Secara fisik, buku itu lebih besar dan tebal. Di bagian atas terdapat lambang rokok A Mild (sialan!!). Kemudian ada foto Nicholas Saputra yang direkayasa sehingga seolah-olah buram. Seakan-akan Nicholas adalah Soe Hok Gie.
Berbagai kesedihan berkecamuk di benakku. Apakah Soe Hok Gie asli harus tersingkir dari panggung sejarah dan berganti dengan sosok baru yang ganteng? Aku paham tentang logika kamera dan sinematografi. Bahwa tidak mudah mencari sosok yang tepat secara personal dan karakter untuk memainkan sosok tertentu.
Lantas, apakah itu menjadi satu-satunya pengabsah untuk kemudian harus memilih ikon dari pop culture dan kebudayaan instan dalam sosok Nicholas? Haruskah karena kepentingan market, seorang hero bagi mahasiswa harus dipermak dan diberi gincu agar terlihat fresh, segar, dan menjadi idola gadis-gadis ABG yang tengah mencari figur?
Entahlah. Buku itu seakan mengajakku untuk memahami betapa di zaman seperti ini batas antara realitas dan fiksi mulai kabur. Betapa Soe Hok Gie yang wajahnya agak bopeng, ras cina, pemikir yang kesepian, harus menjelma menjadi pemuda indo yang ganteng dan simbol dari zaman yang memuja tubuh selangit.
Betapa, logika kapitalisme begitu kejam hingga mampu menyingkirkan seseorang dari panggung sejarah. Soe Hok Gie lama yang berbau apak akibat jarang mandi dan selalu berdemonstrasi, kini berganti dengan pemuda berkulit bersih dan berhidung mancung. Betapa Soe Hok Gie yang di malam hari menulis naskah perenungan yang filosofis tentang pergulatan hidup, harus berganti dengan pahlawan baru yang lahir dari dinamika perfilman dan masih tak paham, apa yang dipilh Gie.
Entah kenapa, aku merasa sedih melihat sosok foto asli Gie di belakang buku. Ia mengalami proses marginalisasi (peminggiran) dari berbagai sentrum wacana. Di masa Orde Lama dan Orde Baru, ia tersingkir oleh rezim kekuasaan. Kini, ia tersingkirkan oleh rezim baru yang bermuara pada kapitalisme, pemujan komoditas, serta gejala pop culture.
Aku meradang. Bagaimanapun, Soe Hok Gie adalah ikon dari mahasiswa yang berpanas ria demi meneriakkan sebuah tuntutan. Bagaimanapun, begitu banyak pihak yang menjadikan Gie sebagai pahlawan di hati mereka. Mereka yang kesepian, berpikir, dan mencoba meretas dunia yang lebih baik.
Mereka yang melihat masalah dengan cara berbeda. Mereka yang memilih jalan sepertiku.Mereka yang rela berpanas-panas ria di siang hari untuk sebuah pencarian. Bahkan bisa jadi itu adalah pencarian yang kian kabur hingga akhirnya terantuk dan semuanya buyar.
Search
Pengunjung Blog
...
Tentang Saya
blogger l researcher l communication practitioner l lecturer l teacher l IFP Fellow l ethnographer l anthropologist l academia l historian wanna be l citizen journalist l Unhas, UI, and Ohio Mafia l an amateur photographer l traveler l a prolific author l media specialist l political consultant l writerpreneur l social and cultural analyst l influencer l ghost writer l an avid reader l father l Kompasianer of the Year 2013 l The Best Citizen Reporter at Kompasiana 2013 l The 1st Winner of XL Awards 2014 l The 1st Winner of Indonesian Economic Essay Competition 2014 l
Arsip Blog
-
▼
2005
(36)
-
▼
Juli
(15)
- Menjadi Asisten Mr Douglas
- Membunuh Sepi di Jakarta
- Jogja-ku yang Hilang
- Flight to Jogja
- Dari Jogja Hingga Jakarta
- Realisme Film Gie
- Bolos Kerja dan Pria Mabuk
- Matahari
- Tangis Menyayat di London
- Catatan Kecil
- Membaca Ulang HG Wells
- Messianisme Ala Batman Begin
- Globalisasi Ataukah Lokalisasi???
- Sensasi Da Vinci Code
- Soe Hok Gie
-
▼
Juli
(15)
0 komentar:
Posting Komentar