Politik 2006: Dari Chaos Menuju Order

ILMUWAN politik Harold Lasswel mengatakan, politik adalah sebuah ilmu yang membahas tentang siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana. Politik tidak sekedar sains tapi juga seni yang mencakup dimensi aksiologi manusia dalam pencapaian tujuan dan gerak menuju kesempuraan.
Tahun 2005 segera berlalu. Gerak politik di tahun ini diwarnai gerak menuju satuan-satuan yang terkecil. Satu gerak balik dari tahun sebelumnya yang penuh dengan dinamika di tingkat pusat, kini memencar dan bergerak satuan-satuan kecil pada scope atau lanskap yang lebih mikro.
Tahun ini dicatat sebagai tahun pertama pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung. Pilkada bisa dimaknai sebagai pergeseran konflik dari pusat menuju ke daerah.
Betapa daerah yang sebelumnya hanya penonton dari berbagai event politik, kini menjadi sentrum baru yang menarik elite-nya di pusat untuk pulang kandang dan bertarung.
Tidak hanya itu, pilkada juga mendesentralisasikan berbagai konflik dan aksi massa hingga setiap hari. Apalagi, ini belum ditunjang dengan kesiapan birokrasi serta pranata hukum dalam meredam setiap gejala yang bisa melahirkan rusuh dan aksi massa.
Tahun 2005 juga tercatat sebagai tahun konsolidasi bagi partai-partai besar. Jika tahun 2004, mereka memainkan taktik dalam kancah pemilu legislatif dan pemilu presiden, tahun 2005 terjadi perbenturan strategi di tingkat internal partai.

Pergeseran Elite
Dalam konteks itu, terjadi pergeseran elite partai namun tetap berada dalam satu bingkai ideologis. Yang mencuat adalah pebenturan (chaos) dan konflik yang dalam beberapa kasus justru belum ditemukan titik penyelesaian untuk konsolidasi politik menuju demokratisasi.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menggelar kongres kedua pada 28-31 Maret di Bali. Kongres secara aklamai menetapkan Megawati Soekarnoputri di posisi puncak partai.
Sebagian elite partai tidak puas dengan kongres dan membentuk partai tandingan yaitu Partai Demokrasi Persatuan (PDP) sebagai kelanjutan dari PDIP Pembaruan.
Partai Amanat Nasional (PAN) telah berkongres kedua pada 7-10 April di Semarang. Meski tidak banyak dikenal publik, Soetrisno Bachir terpilih yang dikenal sebagai anak kandung ideologis dari Amien Rais terpilih sebagai ketua partai berlambang matahari itu. Kubu Fuad Bawazier yang kalah, mengancam akan segera membentuk partai baru.
Selanjutnya, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) bermuktamar pada 16-19 April di Semarang memilih Muhaimin Iskandar sebagai ketua umum.
Namun sejumlah elite PKB tidak puas dan menggelar muktamar di Surabaya dan menghasilkan Choirul Anam sebagai ketua umum. Bahkan kasasi Mahkamah Agung (MA) tak juga bisa menyelesaikan konflik yang kian kronis di partai itu.
Partai Bintang Reformasi (PBR) juga setali tiga uang. Muktamar di Jakarta pada 26-27 April menghasilkan dua kubu pengurus kembar yaitu kubu Ketua Umum KH Zainuddin MZ dan kubu Zaenal Ma'arif.

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menggelar pemilu raya pada Mei 2005, akhirnya memilih Tifatul Sembiring sebagi presiden. Sedangkan Partai Bulan Bintang (PBB) menggelar muktamar di Surabaya pada 28 April hingga 1 Mei dan memilih MS Kaban sebagai ketua umum.
Demikian pula Partai Demokrat yang kongres pada 20-23 Mei di Bali dan memilih Hadi Utomo sebagai ketua.
Di luar berbagai dinamika internal itu, politik di tahun 2005 juga ditandai dengan kian menguatnya legitimasi politik dan kultural dari pemerintahan SBY-Kalla.
Meskipun awalnya hanya diusung beberapa partai kecil, namun kini, berbagai partai besar menjadi partai pendukung bagi koalisi SBY-Kalla.
Terpilihnya Jusuf Kalla sebagai Ketua Umum Partai Golkar serta diakomodasinya partai-partai lain seperti PAN, PKB, PKS, dan PPP ke dalam struktur kabinet kian menguatkan posisi pemerintah di hadapan parlemen.
Praktis, parlemen akan kehilangan elan vital (unsur penting) sebagai sumber energi kritik dan pengimbang kebijakan.
Tahun 2006 dapat dibaca sebagai tahun di mana chaos (kekacauan) yang sebelumnya kencang berdengung bakal menjelma menjadi order (keteraturan).
Dinamika politik bakal statis dan bisa berujung pada tiadanya kritik konstruktif serta nihilnya gerakan sosial dari elemen masyarakat.(yusran darmawan)

0 komentar:

Posting Komentar