Catatan tentang Saraswati

AKU masih ingat betul. Ketika aku masih kecil, bapak pernah memberiku buku cerita. Aku membaca tentang seorang anak kecil yang tinggal di tengah hutan. Ia sangatlah jauh dari akses akan dunia luar. Hidupnya dihabiskan hanya bersama ibunya.

Anak itu diwariskan sebuah buku oleh ayahnya yang sudah meninggal. Ibunya tak pandai membaca, namun anak itu tak henti menyalakan api pengetahuan di dalam jiwanya.

Mulailah anak itu belajar membaca. Ia kesulitan laksana orang berjalan yang terus terantuk. Suatu malam, seorang Dewi bernama Saraswati hadir di depannya. Dewi Saraswati adalah dewi ilmu pengetahuan yang kerap hadir dan memberikan ilham bagi siapapun yang menyalakan keingintahuan dalam dirinya.

Saraswati berdiri tegak dengan anggun. Ia memakai mahkota dan baju kebesaran. Baju khas India berupa kain sari yang membalut tubuhnya

Tangannya ada empat dan dua di antaranya memegang sebuah kecapi, sejenis gitar khas India dengan suara merdu.

Saraswati menuntutun anak itu saat belajar. Anak itu mendapatkan sebuah pelita di tengah kegelapan hutan. Ia akhirnya pandai membaca dan memasuki gerbang baru yang begitu indah befrnama ilmu pengetahuan.

Kurang lebih, 23 tahun yang lalu, aku membaca cerita itu dengan takjub. Saat itu, aku juga sedang belajar membaca. Hampir setiap hari, aku membayangkan hadirnya Saraswati. Sampai-sampai, aku juga ikut memimpikannya.

Hingga memasuki masa SMA, Saraswati tak juga lenyap dari benakku. Saat berada di Yogyakarta, aku sempat terpaku di depan UGM, saat menyaksikan poster Saraswati dipajang.

Saat itulah aku mulai merasakan keanehan. Tiba-tiba saja, aku serasa melihat araswati dalam setiap jejakku. Mulai dari Yogya hingga Makassar, Dewi Pengetahuan itu terus menemani dan menjadi teman dialogku.

Sewaktu kuliah, aku pernah mewakili Unhas di ajang Lomba Karya Ilmiah yang digelar Dirjen Dikti. Acara itu digelar di Bali. Aku melihat patung Dewi Saraswati berdiri megah di depan Dinas Pendidikan di Bali. Patung itu membuatku terhenyak.

Patung Dewi Saraswati berdiri dengan anggunnya. Patung perempuan putih itu disertai torehan tinta emas pada mahkota, kalung, gelang, dan ornamen kecapi, kemudian bertangan empat, dengan masing-masing tangan memegang wina (kecapi), aksamala (tasbih), damaru (kendang kecil), dan pustaka suci. Kata temanku, Saraswati dikenal sebagai Dewi Pendidikan. Dan di Bali, hari lahir Saraswati dirayakan setiap tahunnya.

Apakah aku sakit? Mungkin. Kata teman-teman, aku sering bicara seorang diri. Seakan-akan aku sedang berbicara dengan orang lain.

Barangkali itu benar. Yang jelas, pengalaman itu agak aneh bagiku. Anehnya, setiap aku mulai akrab dengan seorang gadis, aku selalu memanggilnya dengan Saraswati. Aku senantiasa mengidentikkan gadis itu dengan Saraswati.

Ketika aku gagal membangun hubungan cinta dan putus dengan beberapa orang, bagiku itu tak mengapa kok. Aku menerimanya sebagai satu keniscayaan. Aku jarang sedih karena yakin kalau Saraswati pasti datang kepadaku. Bagaimana pun, perempuan bisa datang dan pergi, namun Saraswati tetap hadir di hatiku.

Anehnya, Saraswati tidak setiap hari hadir dan mengunjungiku. Ia hanya hadir di saat-saat tertentu khususnya ketika aku sedang kesepian. Ia akan datang dan menjadi obat bagi seluruh kesunyianku.

Saat menyaksikan film Beautiful Mind, aku baru tahu kalau penyakit itu di sebut schizophrenia. Ternyata, itu benar-benar penyakit.

Namun, anehnya, aku justru tidak merasa terganggu dengan itu. Justru aku merasa bahagia karena di saat-saat tertentu, ada yang meredam segala sedihku.

Saraswati menjelma menjadi sebuah ideologi yang samar-samar menuntunku ke satu titik. Secara jujur, aku justru terbantu dengan hadirnya sosok itu. Setidak-tidaknya hari-hariku kian bermakna.

Berbagai Saraswati hadir dalam kehidupanku. Namun Saraswati yang sekarang ini adalah yang terindah bagiku. Sungguh bahagia aku karena pernah mengenalnya dalam hatiku.

0 komentar:

Posting Komentar