Membaca Ulang HG Wells

Selasa, 5 Juli 2005

Aku baru saja pulang nonton film berjudul War of The Worlds. Sewaktu kecil, aku pernah menyaksikan film ini dalam bentuk serial televisi. Ceritanya menarik tentang pergulatan manusia melawan kaum alien atau mahluk asing yang hendak menyerbu bumi.

Mungkin, sebagian besar yang nonton di Studio 21 Mal Panakkukang ingin menyaksikan kiprah Tom Cruise ataupun garapan terbaru dari Steven Spielberg. Namun aku bukan itu.

Aku tertarik karena film ini diangkat dari novel klasik dari HG Wells, seorang novelis dan filosof Inggris yang hidup pada 1866-1946. Novelnya selalu mengangkat fiksi ilmiah dan futuristik di zamannya.

Aku pernah membaca beberapa novelnya yang masyhur. Di antaranya The Time Machine, Invisible Man, ataupun War of The Worlds.

Terkhusus Time Machine, aku sangat tersentuh menyaksikan versi filmnya. Karya itu berbicara tentang prilaku manusia yang bergerak melintasi zaman.

Novel ini tidak sekedar kisah tentang penemuan mesin waktu. novel itu berkisah tentang bagaimana jejak manusia di sepanjang sejarah.
Novel ini mengingatkan pada Arnold Toynbee yang menyebut sejarah sebagai gerak yang siklis (melingkar). Kata Toynbee, tak ada yang berbeda dari setiap zaman. Kalaupun ada, hanyalah aspek yang sifatnya instrumental yaitu sisi material dari kebudayaan.

Aspek itu menyangkut teknologi ataupun peralatan yang kian maju. Namun, secara substansial, manusia tak pernah benar-benar beranjak dari titik berdirinya. Maksud Toynbee adalah di setiap zaman selalu saja ada pergulatan antara syahwat kekuasaan dan ikhtiar untuk membebaskan diri.

Jika dulu orang berkelahi dengan tombak, maka di masa kini orang berkelahi dengan senjata api. Dan di masa datang, orang akan bertempur dengan laser. Tapi secara hakekat, tetap sama saja yaitu berkelahi sebagai bentuk penyelesaian konflik.

Gerak siklis kebudayaan itu digambarkan dengan begitu apik dalam The Time Machine. Lain lagi dengan War of The Worlds. Kisah ini lebih menggambarkan tentang hilangnya solidaritas di antara manusia.

Betapa manusia kehabisan energi hanya untuk berkonflik tanpa pernah membangun solidaritas. Barangkali butuh sosok alien untuk menghadirkan kembali satu spirit kemanusiaan ataupun sikap menghargai yang lain sebagai bagian dari diri kita.

Mungkin karya ini lahir dari satu konteks sosial atau zaman d mana manusia mula merasakan dampak dari teknologi. Karya ini lahir di masa ketika Herbert Marcuse tengah meneriakkan rasionalitas teknologi sebagai landasan berpikir manusia moderen.

Betapa manusia begitu terjebak pada keangkuhan pola berpikir yang sifatnya positivistik hingga kehilangan ruang-ruang untuk tersentuh dan membasahi nuraninya dengan puisi dan filsafat.

Yah, HG Wwlls adalah pengikut Marcuse dan anggota The Fabian Society. Di akhir hidupnya, ia kian pesimis memandang zaman. Seakan-akan ak ada gerak substansial yang terjadi. Ia menulis karya Mind at the End of Its Tether sebagai reaksi atas zaman. Termasuk biografinya sendiri yang berjudul Experiment in Autobiography sebagai kisah tentang visinya terhadap masa depan yang lebih baik. Thanks HG Wells, hari ini kau membuka mataku untuk melihat lebih terang.

0 komentar:

Posting Komentar