Bolos Kerja dan Pria Mabuk

11 Juli 2005

Kemarin, aku bolos kerja. Seharian aku berbincang dan bercerita lucu sama Dwi. Kami sama-sama tertawa seakan tak ada beban dalam memandang hidup.

Tepat pada jam 12.00, ada telepon dari Pak Dahlan. Ia menyuruhku mengendalikan liputan tentang pilkada yang kisruh di beberapa daerah. Aku mengiyakan dan berjanji untuk melakukannya dengan baik.

Aku bersama Dwi melewatkan waktu sampe sore, setelah itu aku mengantarnya ke UKM Pers Mahasiswa. Kemudian aku pulang untuk bergegas ke kantor.

Entah kenapa, perasaanku tiba-tiba saja berubah. Kepalaku mulai nyut-nyut. Namun, ini tidak seberapa parah. Aku harus masuk kantor.

Ponselku bergetar, Ada sms dari Dwi. Ia marah-marah atas apa yang aku lakukan sebelumnya.

Terpaksa aku balik lagi ke PKM untuk menjelaskan apa yang terjadi. Ternyata Dwi nggak benar-benar marah. Ia cuma menggangguku. Aku tersenyum saja. Yah, kami sama-sama kekanak-kanakan.

Harwan datang dan membawa undangan ke Gedung Kesenian. Katanya, ada diskusi yang membahas peluncuran visualisasi dari puisi yang ditulis beberapa seniman. Aku ajak Dwi, ia bersedia. Bersama Harwan, aku meluncur ke Gudung Kesenian

Aku sengaja pergi tidak pakai motor. Aku jelas tidak enak sama Harwan kalo harus ke sana naik motor dengan Dwi. Selain itu, Dwi pernah bilang kalau sekali-sekali kami keluar naik pete-pete. "Biar banyak waktu untuk ngobrol yang seru-seru," katanya.

Di dalam pete-pete, Dwi duduk di sudut. Kemudian aku di sampingnya, sedangkan Harwan depanku. Tiga orang penumpang kemudian naik. Aku merasakan aroma minuman keras segera terpancar begitu ia naik. Aku merasa risih.

Begitu pete-pete sampai di depan STMIK Dipanegara, pria di sampingku mulai bersandar di bahuku. AKu makin nggak enak hati. Dwi malah ikut mentertawakanku.

Lima menit berikutnya, mulut pria itu mulai mengeluarkan busa. Bau minuma keras mulai menyebar di seantero petepete. Aku kian gelisah. Pria itu bersandar di badanku sambil mengelurkan busa. Ia mabuk.

Aku tak tahan. Harwan pun terlihat tak tahan. "Wan, kita harus turun di sini. Cepat, teriak kiri sama sopir," kataku.

Harwan berteriak kiri. Turunlah kami. Ternyata, beberapa penumpang lain juga ikut turun karena tak tahan melihat ada orang yang mabuk dan mengelurkan busa di situ.

Kami ganti petepete. Perjalanan ke Gedung Kesenian sangatlah lambat. Di beberapa tempat ada keramaian serta antre kendaraan yang hendak mengisi bahan bakar. Belakangan ini, Makassar tengah dilanda krisis bahan bakar minyak (BBM).

Akhirnya tiba juga. Niat terbesarku ikut diskusi adalah karena aku ingin sekali ketemu dengan dosenku yaitu Pak Alwi Rahman. Aku ingin sekali berbincang banyak hal padanya.

Acara diskusi berjalan dengan tidak menarik. Aku agak kesal karena tidak diberi kesempatan untuk mengutarakan pandanganku. Padahal, aku merasakan begitu banyak ketidaksepakatan dalam acara itu.

Tapi biarlah. Aku pulang ke Tamalanrea.Kembali jalan kaki masuk kampus mengantar Dwi dan Harwan. Kulihat langit, ada temaram cahaya bulan di situ. Kulihat cahaya itu membias di wajah Dwi. Wah, ia cantik sekali malam ini

0 komentar:

Posting Komentar