Flight to Jogja

Cukup lama aku tidak menggoreskan kata di blogspotku ini. Padahal rentang waktu ini, begitu banyak hal yang terjadi dalam gerak langkahku.

Seminggu yang lalu, aku berangkat ke Kota Yogyakarta. Keberangkatan ini agak mendadak dan tanpa planning sebelumnya.

Kakakku, Ismet menikah dengan seorang gadis asal Yogyakarta. Aku penasaran untuk melihat gadis pujaannya. Selain itu, di keluargaku, pernikahan adalah hajatan yang harus dihadiri seluruh anggota keluarga lainnya.

Dua minggu yang lalu, ibuku, Ismet, mama, Atun, Mamanya Evi dan Evi, datang ke rumah. Mereka menginap selama beberapa hari karena dapat tiket pesawat yang berangkat dua hari berikutnya.

Yah, aku melihtnya sebagai bagian dari tugas kebudayaan yang aku emban sebagai manusia yang punya relasi dengan manusia lainnya. Toh, inilah manifestasi dari gagasan Levi Strauss tentang struktur sosial.

Setelah mereka berangkat, selanjutnya adalah giliranku bersama Kak Syam dan Mama di Barru. Kami naik pesawat Merpati Nusantara dan langsung berangkat menuju Kota Yogyakarta, tanpa transit.

Perjalanan ke sana tidak begitu jauh dan hanya ditempuh dengan waktu 50 menit. Setiba di Yogya, adik Edi telah menjemput kami dan diajak ke rumah Kak Budin. Dan keesokan harinya, rombongan kami bergerak menuju Cangkringan, lokasi perkawinan Ismet.

Di sana, udah kumpul banyak keluarga mulai dari Bapaknya Nita sampai La Edi, sahabatku selama kuliah.

Daerah Cangkringan sangatlah dingin. Daerah ini terletak di lereng Gunung Merapi sehingga Kota Yogyakarta tampak di bawah dengan kelip-kelip lampunya.

Namun, tujuanku bukanlah berwisata. AKu menyaksikan perkawinan yang menurutku sangatlah berbeda dengan orang Bugis atau orang Buton sekalipun. Di Yogya, perkawinan tidaklah menjadi beban dari pihak lelaki, namun semuanya adalah tanggung jawab orang tua yang ingin melihat anaknya nikah dan menunaikan kewajibannya.

Di Bugis Makassar, perkawinan adalah alat untuk melestarikan strategi kuasa. Perkawinan menjadi mekanisme yang melestarikan motif ekonomi. Seorang lelaki harus mengeluarkan mahar senilai puluhan juta rupiah demi menikahi gadis pujaannya.

Beberapa tahun lalu, aku melakukan riset atas itu. Aku menemukan banyak fakta, begitu banyak pihak yang diuntungkan lewat mekanisme perkawinan. Ada begitu banyak pekerjaan dan profesi yang terkait dengan hajatan besar itu.

Namun yang paling nmpak adalah ego dan harkat keluarga. Tolok ukurnya adalah gelar kebangsawanan atau pencapaian ekonomi dan material. Inilah yang menentukan seberapa banyak besaran mahar.

Kembali ke Yogya, aku melihat ada kesederhanaan di sini. Meskipun, harus kuaki kalau ibuku mengalami gegar cultural dan butuh waktu beradaptasi. Kayaknya, ada sesuatu yang tengah dirasakannya. Sebagai anak, tugasku adalah menjaganya dari apapun. Ah, perjalanan yang sungguh melelahkan.

0 komentar:

Posting Komentar