Matinya Kebudayaan

SETIAP menjelang penerimaan mahasiswa baru, publik akan disuguhi dengan pemandangan yang nyaris sama: baliho selamat datang serta simbol-simbol penyambutan mahasiswa baru. Ada yang lembut, ada yang bergambar seram berupa tengkorak menyeringai. Bahkan ada yang berupa kalimat ancaman.

Tak hanya simbol, warna pun seakan menjadi kata wajib yang perlu dipertontonkan. Hampir setiap fakultas, selalu menghadirkan warna tersendiri. Parahnya, semua fakultas itu mengklaim kalau Unhas adalah kampus dengan embel-embel warna itu. Padahal, tak pernah ada konsensus warna di kampus ini. Pun dengan warna merah.

Momentum Ospek menjadi milik semua mahasiswa. Tiba-tiba saja, semua mahasiswa masuk kampus dan bersama ikut merayakan sebuah hari di mana relasi kuasa tampil secara kasat mata. Tiba-tiba saja, semuanya mengaku sebagai aktivis mahasiswa dan merasa memiliki otoritas untuk mendoktrin mahasiswa baru atas nama label aktivis.

Mereka lalu mengajarkan mahasiswa baru tentang demonstrasi dan pergerakan, sembari menutupi realitas, betapa mereka tak pernah berpanas-panas ria demi sebuah tuntutan. Mereka yang benar-benar aktivis harus pasrah dan kehilangan ruang.

Lembaga kemahasiswaan yang mati suri perlahan mulai ramai dengan mahasiswa. Maklumlah, lembaga menjadi akses untuk mendapatkan label dan bisa terlibat dalam pesta akbar itu. Meskipun, seusai Ospek, lembaga kemahasiswaan kembali mati suri dan tak satu pun mahasiswa yang mau menggubrisnya.

Setiap tahun, pemandangan yang sama selalu berulang. Padahal, dunia kemahasiswaan adalah dunia yang sangatlah dinamis. Namun di Unhas, geliat itu seakan stagnan. Tak ada pencerahan. Tak ada renaissance dan setiap tahun ritual yang sama dan membosankan selalu terulang.

Nanti sa lanjutkan.......................

0 komentar:

Posting Komentar