HARI ini adalah hari yang cukup berkesan bagiku. Aku bertemu dengan seorang peneliti berkebangsaan Amerika Serikat (AS) bernama Mr Douglas. Ia adalah dosen di satu universitas di Timor Leste. Ia juga seorang mahasiswa doktoral di satu universitas di AS.
Awal pertemuanku, terjadi dengan tidak sengaja. Saat hendak mengambil minuman di dapur kantorku, aku melihat seorang pria berambut pirang duduk di ruang tamu sembari membuka lembaran-lembaran koran.
Pria itu sedang berbincang dengan sahabatku Imam Wahyudi dengan menggunakan bahasa Indonesia yang sangat fasih. Temanku Imam melemparkan guyonan-guyonan yang langsung ditanggapi dengan berguyon juga. Mereka sama-sama tertawa lepas.
Saat aku melintas, Imam memanggil namaku untuk ikut nimbrung. Biasanya, banyak peneliti asing yang datang ke kantor. Karena aku di bagian riset, aku selalu kebagian tugas untuk menemani mereka. Mungkin karena bahasa Inggrisku dianggap paling fasih di kantor. Entahlah.
Aku datang dan menyapanya. Kemudian aku mendengarkan dialog mereka sembari memperhatikan pria itu dengan seksama.
Awalnya, aku pikir, ia sedang melakukan riset media yang berkaitan dengan kebijakan pemberitaan. Dalam khasanah penelitian komunikasi, riset ini masuk dalam kategori riset kuantitatif.
Seorang peneliti akan menghitung berbagai modus pemberitaan menyangkut sesuatu hal. Proses ini disebut koding. Nanti, akan dibuat analisis menyangkut keberpihakan atau persepsi media tentang sesuatu hal.
Sewaktu kuliah, aku termasuk orang yang tidak terlalu suka dengan model penelitian ini. Bagiku, itu terlampau menyederhanakan realitas. Lagian, mana mungkin manusia bisa dikuantifikasi dalam sejumlah angka-angka yang kaku.
Kembali ke pria asing itu. Aku menyodorkan tangan untuk kenalan. Ia menyebut namanya Douglas. Aku teringat kalau dua tahun yang lalu, teman-temanku pernah menggelar diskusi di koridor kampus dan menghadirkan pembicara asing bernama Douglas.
Saat kutanyakan, ia tersenyum dan mengiyakan. Dialog dengan lancar kemudian terjadi di antara kami. Saat itu, aku mengkritik metode yang ia tempuh dalam membaca koran.
Aku menawarinya metode pembacaan lewat searching data. Kujelaskan kalau aku mempunyai arsip file semua liputan koran. File itu tersimpan dalam program wp6. Aku jelaskan karakteristik program ini adalah kemampuannya untuk mencari kata kunci dalam file.
Ia balik mengkritik. Menurutnya, cara itu tidaklah efektif untuk risetnya. Sebab kata kunci hanya menemukan kata tertentu. Tidak membantu kita untuk menemukan substansi. Ia menjelaskan risetnya.
"Yos, saya lagi riset tentang bentuk aksi dari civil society yang ada di masyarakat. Selama ini, lembaga internasional melihat tolok ukur civil society lewat sejumlah angka yang menjadi parameter dan di sebut civil society index," katanya
"Apa yang salah dengan civil society index?" tanyaku.
"Civil society index terlampau menyederhanakan realitas. Bayangkan, seorang peneliti hanya perlu mewawancarai sejumlah ilmuwan lokal atau peneliti setempat. Nantinya, wawancara itu dibuatkan skoring. Dan itu sangatlah tolol," katanya.
"Lantas, apakah metode ini punya bias data yang cukup besar?" tanyaku lagi.
"Yup. Angka civil society indeks di Kalimantan sangatlah tinggi Artinya, di sana kohesi sosial sangat besar sehingga minim bentrokan sosial. Tak lama setelah angka itu dipublikasikan, tiba-tiba muncul berbagai konflik etnis seperti Sampit, dan beberapa daerah lainnya. Jelas, hasil riset itu tidak bisa menjelaskan apa-apa," kata Douglas dengan mimik serius.
Aku tertegun sesaat. Terus terang, aku tak terlalu asing dengan berbagai riset seperti ini. Bukankah sejak debat metodenstreit antara kubu positivistik dan antipositivistik di Jerman tahun 1960-an, hingga kini, parailmuwan tak benar-benar menemukan satu metode terbaik dalam mendekatkan diri pada satu realitas sosial?
"Aku paham dengan metode itu Bung!!. But, apa kamu yakin kalau itu bisa mendekatkan kita pada realitas civil society yang seutuhnya?" tanyaku.
Mr Douglas tersenyum. "Justru dengan cara mencoba berbagai hal dan riset baru, kita punya peluang untuk meruntuhkan berbagai metode yang kita anggap usang," katanya, lagi-lagi dengan tersenyum.
Aku serasa melihat filsuf Yunani Archimedes yang meneriakkan EUREKA. Aku melihat binar pengharapan di matanya. Sekilas, melintas gagasan Thomas Kuhn tentang revolusi paradigmatik dalam ranah riset ilmu sosial.
"Wah..luar biasa. Kita bisa menemukan berbagai metode baru dengan cara ini," kataku.
Tiba-tiba saja, Mr Douglas mengajakku bicara serius. Ia bilang, selama ini ia tak membutuhkan asisten karena tak percaya kualitas orang yang diajaknya kelak. Menurutnya, tak banyak orang yang bisa memahami cara berpikirnya termasuk lompatan-lompatan gagasannya.
Ia mengajakku menjadi asistennya. Menurutnya, aku bisa membantunya untuk menuntaskan penelitian itu. Sebab, jika dikerjakan berdua, maka riset itu bisa lebih ringan. Menurutnya juga, aku paling paham soal Sulsel, kelak ia ingin aku menulis hasil riset itu dalam satu jurnal bergengsi di Indonesia dan luar negeri. Karya itu bisa menimbulkan efek yang mengejutkan kelak.
Aku agak terkejut. Tak menyangka jika aku bisa dijadikannya asisten. Lagian, kupikir pekerjaan itu sangatlah ringan. Dan aku bukanlah orang yang rewel jika berbicara perkara duit.
Aku mengulurkan tangan tanda setuju. Kini, Mr Duoglas memberikan secercah harapan bagiku. Setidaknya, aku punya pengalaman riset dengan beberapa orang asing. Dan mereka selalu memiliki vitalitas dan kecerdasan yang tidak dimiliki rata-rata peneliti di sini.
Bagiku, riset seperti ini sangatlah mudah. Tidak butuh banyak energi. Lagian, suatu saat, mr Doglas bisa kujadikan akses untuk menembus berbagai lembaga donor yang menyediakan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan kelak. Apalagi, istri Mr Douglas bekerja di lembaga Ausaid, yang kerap menawarkan beasiswa ke Australia dan negara Eropa.
Yah, ini adalah peluang sekaligus tantangan bagiku. Bisa menuntaskan satu proyek riset yang agak ambisius. Aku bisa belajar banyak hal.
Usai diskusi, Mr Douglas pamit. Ia akan berangkat ke Kendari dan beberapa daerah lainnya. Ia berjanji untuk datang lagi pada tanggal 11. Kelak, kami akan melanjutkan diskusi kami dengan beragam topik sekaligus menajamkan hasil riset kami kelak.
Semoga Allah terus memberiku jalan terbaik Hari ini, Mr Douglas memberi secercah harapan.
Search
Pengunjung Blog
...
Tentang Saya
blogger l researcher l communication practitioner l lecturer l teacher l IFP Fellow l ethnographer l anthropologist l academia l historian wanna be l citizen journalist l Unhas, UI, and Ohio Mafia l an amateur photographer l traveler l a prolific author l media specialist l political consultant l writerpreneur l social and cultural analyst l influencer l ghost writer l an avid reader l father l Kompasianer of the Year 2013 l The Best Citizen Reporter at Kompasiana 2013 l The 1st Winner of XL Awards 2014 l The 1st Winner of Indonesian Economic Essay Competition 2014 l
Arsip Blog
-
▼
2005
(36)
-
▼
Juli
(15)
- Menjadi Asisten Mr Douglas
- Membunuh Sepi di Jakarta
- Jogja-ku yang Hilang
- Flight to Jogja
- Dari Jogja Hingga Jakarta
- Realisme Film Gie
- Bolos Kerja dan Pria Mabuk
- Matahari
- Tangis Menyayat di London
- Catatan Kecil
- Membaca Ulang HG Wells
- Messianisme Ala Batman Begin
- Globalisasi Ataukah Lokalisasi???
- Sensasi Da Vinci Code
- Soe Hok Gie
-
▼
Juli
(15)
1 komentar:
wow...kantornya dimana saat itu?
Posting Komentar