Realisme Film Gie

Kamis, 14 Juli 2005

Soe Hok Gie, seorang anak mudah yang karib bergaul dengan perenungan. Hari-harinya diisi dengan mengamati berbagai gejala dan relitas sosial. Ia miris memandang bangsa. Nuraninya kerap bergolak kala melihat ketidakadilan.

Nun di tahun 1960-an, Indonesia tengah bergolak. Sebuah zaman transisi dan penuh dinamika tengah menghadang. Satu kurun waktu yang dicatat oleh sejarawan Asvi Warman Adam sebagai masa yang menentukan Indonesia hari ini. Sebuah starting point untuk memulai sesuatu.

Gie mencatat semua itu dengan penuh impresif. Seorang pemuda yang sejak kecil bergulat dengan berbagai wacana filosofis. Gie seorang penyendiri. Itu tampak dari tulisan-tulisannya yang coba bergaul dengan persoalan. Ia belajar memecahkan berbagai masalah lewat mencari jawaban dalam dirinya. Ia filosof dalam artian berusaha untuk menggeledah skema berpikirnya untuk menemukan sebuah jawaban.

Hari ini, aku menonton film Soe Hok Gie bersama Dwi. Berbagai kesan telah menghuni benakku sebelum menyaksikan langsung film itu. Berbagai gambaran negatif dan miris menghantui diriku hingga mempengaruhi seluruh gambaran kesanku akan film ini.

Ternyata, semuanya tidaklah sesuai dengan gambaran awalku. Kekhawatiran kalau-kalau Gie akan ngepop haruslah dibuang jauh-jauh sebab film ini benar-benar disajikan secara realistis dan setia pada pakem catatan harian Gie.

Setidaknya, film ini akan membungkam banyak orang yang selama ini mengkritik. Begitu banyak orang yang ketakutan kalau-kalau film ini melakukan distorsi terhadap kisah sang aktivis dan pahlawan mahasiswa bernama Soe Hok Gie ini.

Aku pun pernah ikut-ikutan mengkritik Gie lewat situs ini. Aku takut kalau-kalau mahasiswa harus kehilangan sosok yang begitu heroik. Sosok yang bisa menjadi ikon dari gejolak, passion, serta greget khas anak muda. Bagiku, biarlah Gie menjadi pahlawan yang terpelihara dalam jiwa mereka yang muda dan dibakar oleh gelombang emosi dan gejolak.

Ternyata, film itu disajikan dengan penuh idealisme. Betul kata Mira Lesmana, ia sama sekali tidak merubah cerita yang ada dalam Catatan Seorang Demonstran. Semuanya disajikan secara wajar dan mengalir berdasarkan alur dalam buku itu.

Mengalir dengan lancar dan lugas, ternyata bisa mengandung risiko. Film ini seakan mengabaikan unsur dramaturgi yang bisa lebih menguatkan cerita ini. Mungkin aku agak kaku dalam memandang film. Bagiku sebuah film harus memiliki nafas berupa pengenalan suasana, penggarapan konflik, hingga resolusi.

Film tanpa alur akan kehilangan greget dan berjalan dengan tidak menarik. Aku melihat, seakan-akan Mira Lesmana dan Riri Riza tidak berani membuat berbagai interpretasi sendiri dan menghadirkan berbagai unsur yang lebih bisa menguatkan jalan cerita itu sendiri.

Mereka terlalu setia dengan konstruksi ide Gie dalam catatan hariannya. Ada kesan kalau mereka tidak berani untuk menjelajah lebih jauh dan sedikit membongkar berbagai tafsir akan Gie. Jadilah film ini seakan tanpa greget.

Narasinya berjalan dengan begitu monoton. Penonton film ini disuguhi lebih banyak tuturan dari Gie lewat berbagai fenomena. Suara yang ditampilkan pun lebih banyak voice over dari Gie. Aku tak paham.

Barangkali pula timing atau momen pemutaran film ini yang tidak tepat. Film ini disajikan ketika masyarakat Indonesia tengah dijejali dengan berbagai tayangan. Seakan-akan kejenuhan tengah menghingapi masyarakat. Entahlah...

0 komentar:

Posting Komentar