Bersiap-Siap Menuju Phuket


bersama beberapa sahabat asal Thailand

SEBUAH email datang dari satu biro perjalanan (travel agency). Mereka meminta kopian paspor serta data diri. Sebelumnya, mereka menginformasikan kalau saya diikutkan dalam tur wisata di Phuket, Thailand, pada pertengahan Desember nanti. Dengan senang hati, saya menyetujui tawaran itu. Bukankah menyenangkan ketika ada orang menawarkan tiket gratis, nginap di hotel berbintang, serta tour guide untuk keliling-kelling di satu tempat wisata di luar negeri?

Saya tak pernah punya bayangan tentang Phuket, Thailand. Saya lalu menyempatkan waktu untuk berselancar di internet dan membaca banyak informasi tentang Phuket. Ternyata tempat wisata ini identik dengan pasir putih, laut biru, serta pohon-pohon kelapa. Terus terang, saya tak seberapa tertarik dengan wisata pantai dan laut. Mengapa? Sebab saya sendiri berumah di pulau, yang untuk menggapai pasir putih hanya perlu berkendara selama sepuluh menit.

Meski demikian, saya punya kesempatan untuk menyelami denyut kehidupan stau tempat. Saya membayangkan akan mengambil banyak gambar-gambar pemukiman masyarakat, orang-orang yang berseliweran, serta berkesempatan untuk melihat tradisi dan kebudayaan yang berbeda. Walaupun perjalanan itu singkat, saya bisa menyiasatinya dengan mencari informasi sebanyak-banyaknya.

Saya ingin mencari hal-hal unik yang jarang terdengar di tanah air. Saya ingin menulis tentang Thailand yang bukan sekadar cerita tentang keindahan pasir putih ataupun atraksi gajah. Saya ingin mencatat tentang seorang ladyboy atau waria, tentang suku-suku laut, tentang gadis pekerja seks, tentang tradisi di pantai yang unik-unik, tentang para turis kesasar, ataupun tentang anak-anak muda yang menunggui bar di satu malam.

Saya memang belum pernah ke Thailand. Akan tetapi tempat itu bukanlah tempat yang asing. Selama tinggal di Athens, saya mengenal banyak mahasiswa asal Thailand. Secara fisik, mereka nampak sama dengan orang Indonesia. Malah, ketika bertemu ketua Thai Student Association (TSA), saya sempat terkecoh. Sebab wajahnya sama persis dengan salah satu sepupu saya di Pulau Buton. Ternyata, dia pun sering terkecoh dan menyapa orang Indonesia dengan bahasa Thai. Maklumlah, orang Indonesia dan Thailand punya kesamaan fisik.

bersama dua gadis Thailand saat penggalagan dana banjir
bersama Pumi dan Papi yang berbusana Thailand
Savitree, yang dipanggil Papi

Sayang, para sahabat, yang rata-rata adalah perempuan, tinggal di Bangkok. Andaikan saya ke Bangkok, tentunya mudah buat saya untuk mencari tumpangan nginap barang semalam atau dua malam. Mereka juga menawarkan diri menjadi tour guide yang siap mengantar ke manapun. Hmm.. Tentunya menyenangkan bisa keliling Bangkok sambil di antar gadis-gadis manis.

Semoga saja semuanya berjalan lancar. Sejak dulu, saya percaya bahwa Asia Tenggara adalah kawasan paling unik di dunia. Di semua tempat dan negara, kita akan menemukan tradisi, bahasa, makanan, serta kebudayaan yang berbeda. Ini wilayah yang paling beragam serta unik. Beda halnya dengan berkunjung ke Eropa atau Amerika yang bahasa dan kulturnya hampir sama di mana-mana. Bangunan tuanya bercorak sama. Sementara di Asia Tenggara, selalu ada yang baru di situ. Meskipun di sana-sini ada pertautan sebab sejak masa silam masing-masing kebudayaan telah saling menginspirasi, kita masih bisa melihat keunikan serta ciri khas yang berbeda. Mudah-mudahan saya bisa melihat jejaknya di Phuket.

Sayang sekali karena Phuket berjauhan dengan Bangkok. Mudah-mudahan saja ada kesempatan untuk bertemu para sahabat di sana. Mereka baik, ramah, serta memperlakukan saya sebagai saudara. Saya masih ingat persis ketika hadir pada acara penggalangan dana untuk korban banjir di Bangkok, seorang sahabat berjanji akan mengantar ke mana-mana jika angin membawa saya ke Bangkok. Semalam, sahabat itu mengirim pesan lewat facebook, “U should come to Bangkok. If not, I will kill u!”


0 komentar:

Posting Komentar