ilustrasi |
Pusat Studi Ekonomi dan Bisnis (PSEB)
Universitas Halu Oleo di Kendari, Sulawesi Tenggara, mengundangku untuk menjadi
pembicara diskusi. Temanya cukup mentereng yakni tentang integrasi ilmu sosial
dan ilmu ekonomi. Heran juga, kenapa orang sebego diriku diundang untuk
membahas tema-tema seberat itu. Tapi tak apalah.
Saat membaca tema itu, aku membayangkan
buku lawas karya Paul Ormerod berjudul The Death of Economic. Aku juga
membayangkan beberapa artikel yang ditulis beberapa kolumnis seperti sosiolog
Thomas Friedman, serta ekonom radikal William Easterly. Kupikir jika sedikit
menyajikan petikan perdebatan antara Jeffrey Sachs versus William Easterly
tentang ilmu ekonomi pembangunan, pasti diskusi akan menarik. Jika bisa
dikembangkan ke masa depan ilmu ekonomi di level lokal, pasti membuat diskusi
semakin renyah.
Tiba di gedung fakultas ekonomi, aku sempat
terkejut. Di depan gedung, kulihat spanduk bertulis ucapan selamat datang,
kemudian namaku tertera di bawahnya. Tak hanya itu, ada pula fotoku terpajang. Di
bawahnya lagi, ada tulisan-tulisan yang tak sempat kucatat. Penghormatan ini
terlampau besar untuk diriku yang hanya seorang pengelana. Diriku belum
mencapai level pesohor atau seorang intelektual besar. Aku sama dengan
mahasiswa itu yang sama-sama hendak meminum tetes air di samudera pengetahuan.
Tak pantas diriku menerima penghargaan yang begitu besar. Para mahasiswa itu terlampau
tinggi menilaiku. Dan jujur, penilaian itu membuatku amat malu dan serba kikuk.
Di aula yang terletak di dalam gedung,
para mahasiswa telah menggelar karpet, serta kursi-kursi untuk pemateri. Ketika
diskusi hendak dimulai, puluhan mahasiswa telah memenuhi karpet. Beberapa di
antara menyiapkan buku catatan. Moderatornya adalah sahabatku yang berprofesi
sebagai dosen fakultas ekonomi.
Setelah perkenalan singkat, aku mulai
sedikit memberikan uraian. Dikarenakan diminta bahas tentang motivasi dan kiat
belajar, kukisahkan pada mahasiswa itu tentang pendidikan di beberapa tempat.
Kukatakan bahwa tak penting belajar di mana, yang jauh lebih penting adalah
impian-impian yang kita bangun, serta langkah-langkah kecil untuk menggapai
impian.
Setelah itu, para mahasiswa dipersilakan
untuk bertanya. Maka semakin tersanjunglah diriku. Rata-rata bercerita kalau
mereka cukup sering membaca artikel di blog ini. Malah, beberapa orang menyebut
artikel yang aku sendiri nyaris melupakannya. Beberapa orang bertanya tentang
kiat menulis, bagaimana menjaga konsistensi dalam menulis, hingga motivasi dan
prinsip hidup.
Dua sesi pertanyaan dibuka, pertanyaan
yang muncul seputar artikel yang kutulis. Aku benar-benar tak menyangka jika
keisengan menulis artikel dan dposting di web pribadi ternyata bisa membuka
mata banyak orang tentang dunia gagasan yang sebelumnya hanya bisa dibayangkan.
Tak kusangka, artikel yang ditulis dengan gaya suka-suka itu ternyata dibaca
secara luas sehingga menginspirasi banyak mahasiswa itu. Pantas saja, jika
mereka banyak bertanya demi berbagi pengalaman serta kiat-kiat untuk mengalahkan
segala hal yang menjatuhkan semangat.
Ternyata, tak perlu menjadi akademisi
hebat yang kerap wara-wiri di televisi demi menginspirasi paa mahasiswa. Di
zaman seperti ini, cukup memanfaatkan ruang-ruang gratis di dunia maya demi
menanam benih gagasan yang kelak akan tumbuh dan menjulang tinggi di
langit-langit ide. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana mengemas sebuah
gagasan sehingga mudah dipahami banyak orang sehingga membantu mereka untuk
melihat dunia dengan lebih jernih. Di sinilah terletak tantangannya.
Diskusi dengan para mahasiswa kian
menyadarkanku bahwa hal yang paling dibutuhkan para mahasiswa itu bukanlah
bacaan berjibun serta jurnal-jurnal ilmiah. Mereka tidak sedang butuh wacana
baru ataupun gagasan baru, sebagaimana didiskusikan para mahasiswa di kampus
Harvard.
ilustrasi 2 |
Yang dibutuhkan para mahasiswa di Kendari adalah
dorongan kuat bahwa mereka bisa mengalahkan semua kemustahilan. Mereka butuh
suntikan semangat bahwa untuk menjebol sebuah batu, mereka mesti punya
kesabaran hebat untuk menjadi tetes demi tetes air. Mereka butuh tali dan timba
agar mereka bisa menimba pengetahuan di sumur ilmu, lalu mereguknya secara
bersama-sama.
Para mahasiswa itu membutuhkan banyak
sosok untuk berdiskusi, mendengarkan gagasan-gagasan yang mereka kemukakan,
lalu bersama-sama mencari pemecahan. Pertanyaannya, berapa banyakkah warga luar
kampus yang berani ke kampus untuk diskusi pengetahuan? Berapa banyakkah para
alumni yang masuk kampus dengan ikhlas untuk berdiskusi, tanpa menyisipkan
pesan-pesan politik?
Di ruangan itu, aku juga memikirkan hal
lain. Aku sedang memikirkan mengapa banyak sumberdaya terbaik di negeri ini
harus hijrah dan tinggal di kota-kota besar. Setiap tahunnya, ada migrasi para
intelektual dari daerah demi membanjiri kota-kota dan kehilangan kesempatan
untuk berbuat banyak di kampung halaman. Malah banyak intelektual asal daerah
yang lalu berumah di luar negeri.
Andaikan para intelektual itu rajin turun
ke kota-kota kecil, maka semakin banyaklah pilihan-pilihan bagi mahasiswa untuk
berdiskusi. Jika para intelektual hebat itu datang dan berbagi pengetahuan di
daerah-daerah, maka kita bisa berharap banyak di masa depan bahwa benih
pengetahuan itu akan berkecambah dan bertambah banyak. Di masa depan, kiblat
wacana dan pengetahuan bukan lagi di Jakarta atau kota lain di Jawa, melainkan
juga muncul dari daerah-daerah di kawasan timur.
Melihat antusiasme mahasiswa di ruangan
itu, aku tiba-tiba membayangkan bahwa kelak mereka menempati garda depan
intelektual negeri ini. Mereka akan menjadi kiblat wacana, sebab mereka
disiapkan dengan sangat matang oleh intelektual terbaik di negeri ini. Semoga.
3 komentar:
Study struggle never die
ini ada artikel tentang diskusi tsb dari blog salah satu peserta: http://sabarudindevelopment.blogspot.com/2013/11/jumat-1-november-kami-kedatangan.html
bang zul; makasih atas komennya.
bhanua: maasih juga atas link itu. sy udah lihat reportase teman tersebut. sangat menarik.
Posting Komentar