DI tahun 1999, konflik sosial menghantam
Maluku, pulau rempah-rempah. Masyarakat yang selama ratusan tahun hidup berdampingan tiba-tiba
beringas dan saling menghabisi. Jalan-jalan di Kota Ambon dipenuhi oleh pekik
pertempuran dan permusuhan. Laksana api yang membakar sekam, konflik merambah
ke pulau-pulau. Hari-hari itu, manusia berlomba menjadi algojo bagi sesamanya.
Di tengah konflik yang apinya membumbung
itu, terselip kisah-kisah menakjubkan tentang bagaimana masyarakat mengatasi
konflik dengan kearifan tradisionalnya. Di Kepulauan Kei, masyarakat melaksanakan
sejumlah ritual adat demi mengatasi kerusuhan. Di tengah ritual itu, terselip
kisah tentang cinta yang mekar di tengah konflik, disirami secara terus-menerus
oleh keprihatinan yang tumbuh di tengah kecamuk konflik, serta pribadi-pribadi
yang memilih untuk tidak saling dendam. Mereka memilih cinta.
Kisah cinta di tengah latar konflik itu
terangkum dalam novel Kei karangan Erni Aladjai. Dua sosok dalam kisah ini
yakni Sala dan Namira berasal dari desa berbeda. Agamanya pun beda. Namun
mereka sama-sama memiliki tekad kuat untuk melawan konflik. Mereka tak hendak
memelihara dendam. Mereka memilih saling menjaga, sesuatu yang kemudian
menumbuhkan benih cinta di hati mereka.
Saya membaca novel yang terpilih sebagai
pemenang unggulan Dewan Kesenian Jakarta tahun 2012 ini dengan penuh antusias. Pada
tahun 1999, saya merasakan langsung bagaimana konflik itu menghantam warga.
Pada masa itu, ada sekitar 10 ribu warga Maluku yang datang mengungsi ke Pulau
Buton. Mereka menyebut dirinya sebagai orang Buton, namun tidak mengetahui
asal-usul dan silsilah keluarganya. Mereka memenuhi ruang-ruang publik dan
tinggal di situ. Saya melihat langsung bagaimana kesedihan mereka yang hartanya
dirampok, keluarganya terbunuh, hingga rumahnya dibakar para perusuh.
Membaca novel ini serasa memutar ulang
kejadian tahun 1999 ketika orang-orang Buton yang telah beberapa generasi di
Maluku kembali ke kampung halaman. Meski demikian banyak pula yang memilih bertahan
di Maluku, dan berusaha untuk survive di tengah iklim yang setiap saat
mencekam. Banyak yang jadi korban, namun banyak pula yang berhasil betrtahan
lalu membangun kembali tanah Maluku dari puing-puing konflik.
Tokoh utama dalam novel ini adalah pemuda
bernama Sala, yang digambarkan sebagai pemuda keturunan Kepulauan Tukang Besi.
Dalam novel tidak disebutkan bahwa Kepulauan Tuang Besi itu kini dinamakan
Wakatobi, yang penduduknya adalah etnis Buton. Memamg, sejak abad ke-16,
orang-orang Buton telah bermigrasi ke Maluku. Mereka bekerja di perkebunan
rempah-rempah, kemudian memilih tinggal dan beranak-pinak di tanah itu. Mereka
lalu melebur sebagai orang Maluku.
Sosok lain dalam novel adalah perempuan
Kei bernama Namira. Sebagaimana Sala, ia hidup berpindah-pindah demi
menyelamatkan diri. Satu yang saya sukai dari sosok ini adalah kekuatan hatinya
untuk tidak membenci sesamanya. Meskipun ia beragama Islam, ia tidak pernah
membenci kelompok Kristen. Hebatnya, orang-orang Kei tidak pernah mempersoalkan
perbedaan agama. Mereka merasa satu jiwa sebagai orang Kei, yang diibaratkan
sebagai telur-telur yang lahir dari satu rahim ikan.
Nampaknya, setting novel ini digarap dengan
serius. Pengarangnya memanfaatkan bahan-bahan penelitian dari para aktivis yang
menulis tentang Maluku. Bahan-bahannya sangat kaya. Selama ini, kita hanya
melihat konflik dari luar. Novel ini sukses menggiring kita untuk melihat
konflik dari dekat, merasakan deru napas mereka yang menjadi korban, ataupun
mereka yang hendak memusnahkan rekannya.
Bagian yang menurut saya menakjubkan
adalah uraian tentang bagaimana masyarakat Kei mengatasi konflik kearifan
lokalnya. Bagian ini adalah tamparan bagi pemerintah dan ilmuwan sosial yang
selalu hendak memaksakan penyelesaikan dari atas. Ternyata, di dalam nadi
masyarakat, terdapat tradisi dan kebudayaan yang sesungguhnya menyimpan banyak
pengetahuan tentang penyelesaian konflik. Dalam diri masyarakat Kei, tersimpan
khasanah tradisi untuk mengatasi konflik, sekaligus membangun rekonsiliasi antara
dua pihak yang bertikai.
Saya menyukai bagian tentang rekonsiliasi.
Saya teringat pada literatur tentang gacaca
atau mekanisme adat untuk menyelesaikan konflik di Rwanda, Afrika. Tradisi
orang Kei memiliki spirit yang sama dengan tradisi gacaca. Mestinya, pemerintah bisa membantu untuk menyuburkan
tradisi rekonsiliasi konflik ala masyarakat lokal. Di banyak tempat, kerusuhan
seolah hendak dilupakan, tanpa mencari upaya untuk mengindentifikasi akarnya
lalu membangun perdamaian di level komunitas.
Napas utama novel ini adalah cinta. Kedua remaja
dalam novel ini dipertemukan oleh takdir. Mereka sama-sama pengungsi, sama-sama
tak memelihara dendam, sama-sama tak ingin ikut dalam konfrontasi, serta
sama-sama memelihara kedamaian. Cinta mereka menjadi ilustrasi kuat dari kisah
tentang kerusuhan yang berkecamuk. Cinta mereka bertaut erat di tengah bara
konflik yang kemudian menggiring mereka untuk meniti jalan takdir berbeda yang
tak saling bertaut. Endingnya cukup menyesakkan dada.
Sayangnya, ada banyak salah ketik dalam
novel ini. Beberapa kali saya terganggu dengan informasi yang terlalu banyak
dijejalkan dalam teks. Saya sendiri tak ingin mengetahui kejadian begitu
detail, karena dengan mudah bisa ditemukan dalam catatan para peneliti. Saya
juga menemukan informasi yang kurang tepat tentang perjalanan. Digambarkan
bahwa dalam perjalanan menuju Jakarta, Sala transit di Makassar, Buton, lalu
Jakarta (hal 168). Informasi ini kurang akurat sebab rute yang benar adalah Buton,
lalu Makassar, kemudian Jakarta. Kesalahan ini saya temukan dua kali dalam
novel.
Kesalahan sepele ini tidak mengalahkan
nikmatnya membaca novel ini. Biasanya, ketika membaca novel bagus, saya selalu
kesal ketika tuntas membacanya. Saya kesal mengapa harus ada akhir di saat saya
sedang menikmati aliran sungai kata-katanya. Namun demikianlah takdir sebuah
novel. Ada pengantar atau pembuka, dan ada pula bagian akhir. Novel yang baik
adalah novel yang menorehkan jejak di hati kita seusai membacanya. Itu yang
saya rasakan seusai membaca Kei.
0 komentar:
Posting Komentar