BARU tiba di Kendari, saya tiba-tiba
kehilangan dompet. Di satu rumah makan, usai makan siang, saya sejenak ke kamar
kecil. Saat kembali dan hendak keluar, saya lupa mengambil dompet di meja.
Dalam hitungan detik, dompet itu hilang. Maka paniklah saya. Apalagi, Kendari
adalah tempat baru yang cukup asing buat saya. Tempat ini cukup jauh dari
kampung halaman.
Sesaat saya mengalami kepanikan. Saya
tidak panik memikirkan sejumlah mata uang dollar serta rupiah yang ada di dompet.
Saya juga tidak memusingkan identitas kartu mahasiswa di sebuah kampus di luar
negeri, juga kartu tanda penduduk Amerika yang saya bawa ke manapun pergi. Saya
tak khawatir dengan kehilangan kartu-kartu itu.
Saya memikirkan kartu-kartu ATM, SIM, serta
KTP, yang proses pengurusannya serba ribet. Dulu, untuk mendapatkan KTP, saya
harus menemui Ketua RT, Camat, serta pejabat di kantor catatan sipil. Prosesnya
panjang dan berliku demi selembar KTP. Kartu SIM sama ribetnya. Saya mesti dua
kali menjalani tes mengendarai motor. Tes pertama saya gagal melewati halang
rintang tanpa memijakkan kaki ke tanah. Tes kedua akhirnya sukses. Itupun
karena saya melakukan lobi pada seorang polisi yang saya kenali.
Ketika dua kartu itu hilang, saya langsung
membayangkan ribetnya proses mengurus ulang. Saya bukan tipe yang tahan
dipimpong atau menghubungi beberapa instansi demi untuk selembar kartu. Yah,
apa boleh buat.
Di tengah kepanikan itu, ada embun
kesadaran yang membasahi hati saya. Ketimbang memikirkan sesuatu yang telah
hilang, dan kecil kemungkinan kembali lagi, jauh lebih baik jika saya
mengikhlaskannya. Memikirkan benda hilang itu tak akan menyelesaikan masalah.
Malah, memikirkan itu bisa menimbulkan masalah baru, sebab saya kehilangan
semangat untuk melakukan hal lain.
Memikiran kehilangan dompet bisa membuat saya
kehilangan kegembiraan, sesuatu yang biasanya menghinggapi hati saya ketika
datang ke tempat baru. Pada setiap perjalanan, saya selalu dipenuhi rasa
bahagia karena bisa menyaksikan tempat-tempat baru, bertemu para sahabat, serta
kebahagiaan karena mengabadikan banyak tempat-tempat menarik. Masak, hanya
gara-gara kehilangan dompet, saya harus melepaskan semua kegembiraan itu demi
mengharapkan sesuatu yang sudah hilang dan tak akan kembali.
Ketimbang memikirkan benda hilang itu, akan
jauh lebih baik jika saya mengikhlaskan kehilangan itu menganggap uang di
dompet itu sebagai zakat bagi yang menemukannya. Lebih baik saya menganggap
kehilangan itu sebagai hadiah atau persembahan bagi siapapun yang menemukannya.
Mudah-mudahan pengambil dompet itu adalah seorang bapak yang terdesak oleh
kebutuhan ekonomi, dan membutuhkan uang untuk membeli susu buat anaknya.
Mudah-mudahan penemu dompet itu adalah seorang pria yang hendak membahagiakan
istri serta keluarganya. Semoga uang yang sedikit itu menjadi hadiah yang
bermakna untuk dirinya, keluarga, serta orang-orang lain yang dikasihinya.
Terhadap kehilangan itu, saya menemukan
kebahagiaan. Saya semakin menyadari bahwa alam semesta telah begitu ramah dan
memberikan saya banyak hal yang amat menyenangkan hati. Sering saya menemukan
kegembiraan yang tak terduga serta kejutan-kejutan yang datang secara tak
disangka. Alam semesta telah demikian pemurah dan memekarkan bahagia yang tak
ternilai, serta tak sebanding jika dibandingkan dengan sebuah kehilangan. Dan
saya tak ingin mengorbankan semua bahagia dan gembira itu demi sebuah
kehilangan.
Saya mengikhlaskan kehilangan itu. Saya
menemukan hikmah dan pelajaran berharga. Kehilangan itu membuat saya sadar
bahwa tidak ada sesuatu yang tetap dan senantiasa melekat abadi dalam diri. Segala
hal bisa datang dan pergi, namun di setiap momen-momen kepergian, seseorang tak
boleh kehilangan rasa bahagia dan gembira yang sejatinya harus terus dipupuk
dan ditebar benihnya agar senantiasa bermekaran di hatinya.
Kendari, 1 November 2013
1 komentar:
thanks bang Zul
Posting Komentar