ilustrasi |
“SEGALANYA bermula dari impian.” Demikian
kalimat yang sering saya dengar dari para motivator. Bisakah kita mendapat
sesuatu yang mustahil dalam pikiran kita? Bisakah kita memanen keajaiban atas
semua buah tunas mimpi kecil yang pernah kita tanam?
Hari itu, di penghujung tahun 2009,
seorang sahabat memberikan link beasiswa
ke luar negeri. Saya bukan seorang scholarship
hunter yang selalu memelototi semua informasi beasiswa. Saya bukan orang
yang mempersiapkan diri untuk belajar bahasa Inggris demi menjalani serangkaian
tes bahasa, lalu mengirimkan aplikasi ke mana-mana. Sebagai orang kampung, saya
tak banyak bermimpi. Saya hanya ingin lulus sekolah, kemudian kembali ke
kampung dan mempersiapkan langkah selanjutnya.
Mendengar kata luar negeri, saya
membayangkan sebuah dunia yang serba berbeda. Luar negeri adalah dunia yang
hanya bisa saya saksikan di berbagai film Hollywood yang tayang di televisi.
Saya membayangkan persaingan demi menjadi yang terhebat di bangku pendidikan.
Saya mengingat kisah tentang orang-orang yang bergegas di tengah belantara kota
dan gedung-gedung pencakar langit, atau tentang orang-orang yang belajar di
kamar sempit apartemen, setelah itu bekerja di perusahaan-perusahaan bonafid.
Saya tak punya banyak mimpi untuk berumah
di sana. Pada masa itu, saya lebih disibukkan oleh aktivitas mempersiapkan
buku-buku lokal. Bersama beberapa rekan-rekan anak muda di Pulau Buton, kami
menerbitkan buku-buku tentang naskah lokal. Kami menulis sejarah, menelaah sumber-sumber
naskah tradisional, lalu mempublikasikannya dengan harapan agar semua warga
kampung mengenali dirinya. Kami ingin menyerap khazanah kearifan lokal,
kemudian membawanya pada masa modern hingga bangsa kami memiliki kepribadian
yang kokoh.
Akan tetapi, informasi dari teman tentang
beasiswa itu sedikit membuat saya tergoda. Informasi itu menyebutkan tentang
beasiswa itu tidak mencari yang paling pandai di banyak negara. Pemberi
beasiswa itu mencari sosok yang punya kepedulian pada komunitas, memiliki karya
nyata, serta bisa berperan aktif dalam pengembangan kapasitas mayarakat di
sekitarnya. Hmm. Saya teringat bahwa saya punya sedikit karya yang bisa
diperlihatkan.
Apakah
itu cukup? Apakah saya memenuhi syarat?
Tadinya, saya tak berniat untuk mengirimkan
aplikasi. Tiba-tiba saya sadar benar bahwa ketika saya tidak pernah mencoba
peluang, maka saya tak akan memiliki kesempatan. Lagian, tak ada ruginya
mengirimkan aplikasi. Dibaca atau tidak dibaca, lulus atau tidak lulus,
bukanlah hal yang penting. Yang lebih penting adalah saya punya kesempatan.
Saya punya ruang untuk masuk dalam sebuah kompetisi, yang menang atau kalah,
tak pnting buat saya.
Di kampung saya, para nelayan sama paham
bahwa ketika kamu bermimpi untuk menangkap ikan banyak, maka kamu harus menebar
jala dan pancing sesering mungkin. Jika kita hanya membayangkan saja, maka jala
tak akan pernah terisi ikan. Mimpi saja tak cukup. Kita harus punya kaki-kaki
kecil untuk berlari dan menjemput impian kita. Dengan langkah kaki yang
kecil-kecil, kita bisa memastikan bahwa kita bergerak untuk menggapai semua
yang diidamkan.
Berbekal rasa penasaran dan iseng, saya
lalu memikirkan apa yang harus saya isi di aplikasi. Saya menulis ulang semua
pengalaman bekerja dengan masyarakat. Saya banyak melakukan hal-hal, yang
sering dianggap aneh oleh banyak orang. Salah satu yang dianggap aneh itu
adalah aktivitas menuliskan smeua catatan-catatan tidak penting tentang segala
hal di blog pribadi. Saya memang berpikir bahwa tak perlu menunggu tenar
seperti Tom Cruise untuk menjadi seorang penulis catatan harian. Kita bisa
melakukannya kapanpun, pada saat kita memang siap. Siapa sangka, seorang teman
pengelola majalah lokal rajin memuat catatan saya, tanpa pernah saya meminta
persetujuan. Beberapa pusat studi juga sering pula memuat catatan saya.
Tadinya, saya tak butuh kopian semua
tulisan. Namun ketika hendak mengirimkan aplikasi beasiswa, saya mengumpulkan
semua catatan, sembari menulis surat bahwa saya adalah tipe orang yang rain
mencatat apapun. Jika saya mendapat kesempatan lanjut sekolah, saya ingin
mencatat banyak hal yang terjadi di kampung saya sehingga ingatan itu terjaga
dan terwariskan, tidak lantas punah ditelan waktu.
Setelah
mengirimkan aplikasi, selanjutnya adalah melupakannya.
Yup. Saya tak ingin didera penasaran
menunggu pengumuman seleksi. Saya kembal disibukkan dengan pekerjaan rutin
serta misi untuk tetap memublikasikan semua khasanah lokal. Demi misi itu, saya
ikhlas menghabiskan uang pribadi. Saya dan teman-teman tak mengambil untung.
Kami melakukannya didasari atas kecintaan pada budaya lokal.
Hingga suatu hari, datang panggilan
wawancara. Saya menjalaninya dengan baik. Pewawancara bertanya tentang latar
belakang, obsesi, serta pengharapan di masa mendatang. Semuanya saya jawab
secara spontan. Saya belajar untuk selalu melihat sesuatu secara positif. Jika
orang-orang menyiapkan wawancara secara khusus, saya sama sekali tidak. Saya
hanya bermodalkan niat baik seta spontanitas dalam melihat sesuatu.
Selesai wawancara, saya lalu kembali ke rutinitas.
Terlampau banyak hal penting yang bisa dilakukan setiap hari, ketimbang harus
menunggu-nunggu hasil wawancara. Malam seusai wawancara, sorang sahabat
berbisik bahwa inilah saatnya menunggu
keajaiban. Mendengar kata ‘keajaiban’ terasa ada embun sejuk yang membasahi
diri. Kata ini sangat powerful sebab
bisa diihat sebagai hasil dari kerja keras. Sepanjang kita telah bekerja
sebaik-baiknya, maka keajaiban hanyalah sebuah konsekuensi dari kerja keras
itu.
Hingga sutu hari, keajaiban benar-benar
hadir. Nama saya masuk dalam daftar 50 orang yang menerima beasiswa Ford
Foundation melalui skema International Fellowship Program (IFP). Hari itu,
keajaiban benar-benar hadir tanpa saya duga. Saya telah membuktikan mantra
sederhana bahwa ketika kita bekerja keras untuk menjemput sesuatu, maka
keajaiban pasti akan hadir. Mimpi memang penting, namun jauh lebih penting lagi
adalah langkah-langkah kecil untuk mencapai impian. Ketika anda melangkah, maka
satu tahap telah didekati. Maka, keberhasilan tinggal menunggu waktu.
Lulus beasiswa hanyalah gerbang untuk
memasuki tantangan selanjutnya. Saya sadar bahwa bahasa Inggris saya amatlah
buruk. Saya mesti siap-siap berjibaku untuk latihan bahasa serta mengirim
aplikasi ke universitas.
Jika direnungi ke belakang, barangkali
rahasia besar yang membuat saya lulus beasiswa bukan terletak pada kegigihan
untuk menjalani tes, atau kemampuan menyusun strategi sehingga aplikasi lolos.
Bukan itu.
Ada dua hal yang sangat penting. Pertama,
kesediaan untuk bekerja secara sukarela demi membantu orang lain. Saya mendapat
poin bagus dari banyaknya aktivitas serta kerja-kerja idealis yang saya lakukan
di kampung. Ternyata, hal-hal remeh-temeh dan dianggap membuang waktu bagi
banyak orang, justru menjadi point penting untuk lolos beasiswa. Itu saya
rasakan ketika menulis hal-hal sederhana di kampung, yang kemudian dimuat di
media lokal.
Di saat banyak scholarship hunter yang ke
kota untuk belajar bahasa, kemudian ikut seleksi sana-sini, pengalaman ke
kampung dan bekerja bersama masyarakat menjadi amat berguna. Siapa sangka,
keikhlasan serta keberanian untuk melawan arus itu menjadi poin penting yang
kemudian melesatkan saya menuju mega-mega.
Kedua, saya bisa menghadirkan keunikan,
sesuatu yang dicari oleh pemberi beasiswa. Ketika kita tampil sebagaimana
ribuan orang lain, maka yakinlah aplikasi kita akan langsung masuk kotak. Namun
ketika saya tampil unik, melamirkan puluhan artikel serta buku-buku lokal, maka
nama saya langsung masuk nominasi. Saya akhirnya belajar bahwa keunikan bisa tampak
pada kemampuan untuk melihat secara berbeda, pada sisi yang selama ini
diabaikan orang lain.
Nah, demikian kisah sederhana yang
kemudian menjadi awal dari tahapan selanjutnya. Semoga saja kisah ini bisa
menginspirasi. Pertanyaannya, apakah benar sesuatu bermula dari impian?
Jawabannya adalah iya. Tapi impian bukan segala-galanya. Kita harus punya
langkah-langkah kecil untuk menggapai semua impian itu. Sekali lagi,
langkah-langkah kecil.
Catatan:Tulisan ini lama mengendap di laptop saya. Kalau tak salah, ditulis pada bukan Juli 2010. Semoga tetap up to date.
3 komentar:
Very awesome.. Sir gmna cara selalu berpikir unik dan cara untuk mmpertahankannya?
bang zul: caranya adalah jadi diri sendiri. setiap orang kan unik.
Sip sir.. Terima kasih nasihatnya
Posting Komentar