ilustrasi (foto: hopeonhope.com) |
DALAM mitologi Yunani, tersebutlah kisah
tentang Pandora. Ia adalah patung perempuan hidup yang diciptakan Hephaestus
atas pesanan Zeus untuk menghukum titan yang merupakan musuh para dewa. Pandora
dibekali satu kotak yang tak boleh dibukanya. Suatu hari, Pandora tergoda untuk
membuka kotak itu yang kemudian mengeluarkan berbagai ular-ular yang
merepresentasikan kesedihan, kenestapaan, dan bencana.
Hingga kini, istilah kotak pandora sering
sering dikemukakan untuk menggambarkan bagaimana kegaduhan atau kehebohan yang
terjadi ketika seseorang membuka satu kisah. Dalam konteks media, istilah ini
sering diungkapkan untuk menyebut satu tindakan dari seseorang yang membuka
berbagai rahasia, sehingga mata publik menjadi lebih terang sehingga melihat
sesuatu yang selama ini disembunyikan.
Seminggu terakhir ini, kita bisa melihat
bagaimana kehebohan melanda dunia media kita. Jagad media tanah air dibuat
heboh dengan kemunculan akun anonim ‘Jilbab Hitam’ di Kompasiana.
Artikelnya berisikan tuduhan pada satu institusi media besar yang mengklaim
diri idealis dan selalu bermartabat dalam setiap liputannya. Pro kontra pun
merebak. Pihak Kompasiana lalu mencabut artikel itu, dengan pertimbangan
bahwa akun itu berniat untuk melakukan provokasi.
Ternyata kisahnya tak berhenti di situ.
Intitusi media, yang tertuduh itu, beberapa kali membuat klarifikasi. Isu ini
menjalar terus bagaikan api yang melalap bensin sampai-sampai seorang wartawan
senior, mantan pemimpin redaksi, ikut-ikutan menyampaikan pendapat. Lucunya,
ada beberapa kalangan internal Kompas yang mulai menggugat keberadaan Kompasiana.
Orang-orang hebat ini seakan lupa bahwa
nabi jurnalistik Bill Kovach pernah menyebut bahwa watak informasi di era serba
blur sangat berbeda dengan informasi pada era sebelumnya. Di abad kekinian,
informasi bisa datang dari mana-mana saja, sehingga membutuhkan kecerdasan dan
kearifan untuk menyikapinya. Sebagai praktisi media, yang harus dilakukan
bukannya melempar wacana agar menutup sumber informasi, dalam hal ini Kompasiana.
Yang harus dilakukan adalah sedapat mungkin memaknai informasi secara arif,
kemudian mengendalikannya agar tidak menerabas sana-sini dan liar membentur
banyak hal.
Siapapun yang sering wara-wiri di
dunia media sosial sama-sama paham bahwa ada beragam informasi yang bisa
bermunculan. Segala hal tentang seorang tokoh yang sedang naik daun bisa
ditemukan di dunia maya. Tak ada kuasa untuk menyensor informasi yang muncul.
Ketika satu sumber informasi dibendung, maka akan muncul banyak kanal-kanal
informasi lain.
Munculnya hoax atau informasi sesat adalah
sesuatu yang tak terhindarkan. Hampir setiap hari kita menyaksikan banjir
informasi. Bagi yang sering malang-melintang di dunia twitter, pasti tahu bahwa
ada banyak akun yang postingannya adalah rahasia-rahasia para tokoh politik.
Terlepas dari fakta tentang informasinya yang ngawur, terselip makna positif
bahwa seorang politisi bukanlah mereka yang tinggal di langit sana dan menjadi
dewa-dewa. Mereka adalah manusia biasa yang punya sisi lain untuk disoroti.
Pada akhirnya, semua informasi akan selalu
berpulang dari si penerima. Di abad internet ini, kita sama-sama tahu bahwa
pandangan yang melihat khalayak itu pasif sudh lama ditinggalkan. Publik adalah
sosok yang bisa memilah-milah mana informasi yang benar dan tak benar. Ketika
satu informasi logis dan punya keterkaitan dengan informasi lain, publik akan
menerima. Jika tidak, publik akan membuangnya ke keranjang sampah.
Semantic Confusion
Dalam berbagai literatur studi media, ada
istilah yang disebut semantic confusion. Istilah ini muncul untuk membaca
kecenderungan berita-berita media yang harus dilihat secara terbalik. Kita sama
paham bahwa media tak bisa lepas dari berbagai kekuatan sosial dan plitik,
serta faktor tekanan-tekanan internal dari dalam media sendiri. Seringkali,
media menyembunyikan kebenaran melalui permainan kata dan istilah, yang dengan
mudahnya bisa dibaca oleh publik.
Ketika media mengutip pernyataan
pemerintah yang mengatakan, “Kami sudah menelaah masalah ini, dan semuanya
baik-baik saja.” Publik bisa menilai terbalik, bahwa sesungguhnya ada yang
tidak baik dan sedang disembunyikan. Ketika media mengulang-ulang pernyataan
bahwa segalanya sudah dijalankan sesuai hukum, maka publik bisa berkeseimpulan
bahwa ada sesuatu yang tidak sesuai hukum.
ilustrasi 2 |
Pertanyaannya, ketika awak media
sedemikian merasa tercemar namanya atas tuduhan sebuah akun palsu di Kompasiana
yang jelas-jelas tak bisa dipertanggungjawabkan, maka ada apakah gerangan?
Ketika media itu berkali-kali mengeluarkan klarifikasi bahwa tuduhan-tuduhan
itu tidak berdasar, lantas, apakah ini bisa menjadi indikasi bahwa ada
permainan di baliknya?
Saya tak hendak ikut-ikutan menghakimi
media itu. Siapapun paham bahwa informasi (yang dianggap hoax) di internet
bermunculan setiap saat. Ada banyak akun palsu yang secara rutin menyebar kabar
di balik kabar. Biasanya, informasi ini akan mengalir begitu saja, dan tak akan
heboh ketika semua orang mengabaikannya. Kalaupun dintanggapi, maka jelas tak
ada gunanya, sebab akun palsu bisa datangd an pergi sesuka hati, dan menyebar
kabar lainnya.
Jika dilihat dari sisi pesan komunikasi,
maka akun Jilbab Hitam itu sukses untuk menyebar kampanye negatif. Ia telah
membantu kita untuk membuka kotak pandora tentang apa yang sesungguhnya terjadi
di balik dunia jurnalistik. Terlepas dari benar atau tidak, Jilbab Hitam
membantu kita untuk melihat dengan lebih terang praktik-praktik curang yang
kerap terjadi di dunia penerbitan.
Sebagai mantan jurnalis, saya pun berani
bersaksi bahwa dunia ini bukanlah dunia yang penuh malaikat, sebagaimana
disangka oleh banyak orang. Di dunia jurnalistik, relasi antara seorang pejabat
atau pengusaha dengan wartawannya tidak selalu dalam konteks profesional untuk
memublikasikan informasi. Relasinya bisa saja menjadi relasi antara pemberi
duit dan penerima duit yang sama-sama memiliki pertautan misi untuk memenangkan
pertarungan informasi.
Isu tentang jurnalis yang kemudian menjadi
‘piaraan’ dari satu insitusi bukanlah hal baru. Ada banyak hal yang bisa
mempengaruhinya. Kita sama tahu bahwa jurnalistik bukanlah profesi yang
memberikan penghasilan mapan bagi karyawannya. Banyak wartawan yang dipaksa
bekerja dengan modal idealisme dan keikhlasan. Padahal mereka punya keluarga
yang harus dihidupi, serta bersama-sama merenda mimpi tentang masa depan.
Yah, inilah wajah buram dunia jurnalistik
kita. Meskipun hingga kini saya percaya bahwa ada demikian banyak orang baik
yang berseliweran di profesi itu. Saya mengenali banyak di antara mereka yang
bekerja dengan penuh dedikasi pada profesi. Mereka tak mengharapkan
apapun, selain dari sekeping idealisme bahwa publik akan menerima informasi
yang benar, melalui proses yang benar pula.
kupu-kupu harapan |
Dalam kisah Pandora, seusai Pandora
membuka kotak yang kemudian mengeluarkan ular-ular kemalangan, ia kemudian
menutup kotak. Dalam keadaan sedih, ia lalu membuka kembali kotak itu yang
kemudian mengeluarkan kupu-kupu harapan. Maknanya, di tengah berbagai kesedihan
dan kemalangan, manusia akan selalu berbahagia sebab ada kupu-kupu harapan.
Dalam konteks jurnalistik tanah air, kita
meletakkan harapan pada jurnalis-jurnalis idealis yang denyut nadinya adalah
suara publik. Pada para jurnalis dan pewarta warga yang bermartabat inilah kita
meletakkan harapan akan dunia informasi yang lebih bersahabat dan memihak
banyak orang. Merekalah masa depan kita semua.(*)
Baubau, 16 November
2013
0 komentar:
Posting Komentar