Boediono, Copy-Paste, dan Mata Rantai Politik Kita


Wapres Boediono saat berbicara pada acara Indonesia Investment Summit 2013 (foto: republika.co.id)

DI hadapan peserta International Indonesia Investment Summit 2013, Wakil Presiden Boediono lalu membacakan pidato. Dalam bahasa Inggris yang fasih, alumnus program doktoral Pennsylvania University ini menyebut beberapa aspek penting dalam investasi. Pidatonya menarik. Namun siapa sangka, pidato itu sama persis dengan pidato yang dibacakannya setahun silam.

Situs Republika memuat perbandingan pidato tersebut, yang sama persis dengan pidato tahun lalu (lihat DI SINI). Sejatinya, pengulangan ide adalah hal biasa, sepanjang disampaikan dalam bahasa berbeda. Dalam pidato, pengulangan ide adahal hal biasa, apalagi jika pidato disampaikan secara spontan, dalam format tanpa teks. Dalam kasus Boediono, yang terjadi bukan sekadar pengulangan ide, namun gejala copy-paste atas semua teks yang pernah disampaikan.

Saya melihat ada perbedaan style pidato para pejabat kita. Dahulu, Presiden Soekarno selalu berpidato dengan gaya bahasa yang amat kaya, penuh bunga-bunga, serta api yang kemudian membakar semangat. Ia adalah tipe orator yang sanggup menerbangkan tinggi-tinggi semua pendengarnya, kemudian mengajaknya menyelam ke dasar samudera.  Sementara Presiden Soeharto berpidato dengan kalimat yang terjaga, sebagaimana barisan pasukan yang berbaris rapi menuju tujuan. Tanpa ekspresi dan datar saja.

Lain lagi dengan Presiden Habibie yang sering berpidato tanpa teks. Kalimatnya kadang meninggi, kadang merendah, sebagaimana pesat tempur yang lepas landas, kemudian mendarat. Sementara Presiden Gus Dur adalah presiden yang paling pandai berkelakar dan memadukan humor serta kisah-kisah dalam pidatonya. Sementara Presiden Megawati adalah tipe orator yang paling sering memakai idiom-idiom wong cilik. Mendegarkan pidatonya serupa mendengar petuah seorang ibu yang sabar mendengar segala tingkah anaknya.

Bung Karno saat sedang berpidato

Pemimpin hari ini punya gaya berbeda. Presiden SBY sering berpidato dengan cara membacakan teks, dengan gaya bahasa yang agak kaku, serta kalimat-kalimat yang datar. Wapres Boediono juga berpidato dengan cara membaca teks. Kalimat-kalimatnya sering kaku, khas seorang ekonom. Parahnya, pidatonya beberapa hari lalu ternyata adalah hasil plagiat atas pidato yang sebelumnya dibacakan.

Saya melihat bahwa semua pidato yang dibacakan akan menghadapi risiko-risiko pengulangan ide serta copy-paste. Beda halnya dengan pidato yang tanpa teks alias spontanitas. Mantan Wapres Jusuf Kalla adalah tipe pemimpin yang ebih suka pidato tanpa teks. Dengan cara demikian, ia bisa menghadirkan gagasan-gagasan yang orisinil dan fresh.

Ketika gejala copy-paste pidato Boediono ini muncul di media, beragam reaksi bermunculan. Di media sosial, banyak yang memberikan kecaman atas tindakan copy-paste tersebut. Tindakan itu dianggap sebagai cermin dari kemiskinan gagasan, serta ketidakmampuan untuk menemukan satu cara pandang baru atas realitas sosial.  Juru Bicara Wapres, Yopie Hidayat, menilai bahwa Boediono hanya ingin memberikan penegasan. Ia membela atasannya dengan mengatakan bahwa pidato itu tidak basi, sebab masalah yang dihadapi selalu berulang-ulang.

Namun, bagaimanakah melihat persoalan ini sebenarnya?

Pertama, tindakan itu melanggar nilai-nilai ilmiah dan moral. Saya rasa, tak hanya Yopie Hidayat, bahkan Boediono sekalipun paham tentang hukum yang berlaku dalam dunia akademik bahwa tindakan plagiat adalah sesuatu yang amat terlarang. Sebagai alumnus program doktor di Amerika, Boediono tahu persis bahwa plagiasi adalah cermin dari gejala kemalasan berpikir, serta ketidakmampuan untuk menghadirkan orisinalitas. Ia juga tahu persis bahwa tindakan plagiasi adalah sesuatu yang tak termaafkan di dunia akademik.

Ketika belajar di negeri Paman Sam, saya mendengar seorang mahasiswa mendapatkan sanksi tegas dari pihak universitas, sebab ia menyetor dua paper yang sama ke dua mata kuliah berbeda. Meskipun paper itu dibuatnya sendiri, ia tetap mendapat sanksi sebab dianggap berbuat curang serta melanggar kode etik moral, sesuatu yang dijaga dengan amat ketat di perguruan tinggi. Sanksi atasnya menjadi pertanda komitmen kampus untuk melestarikan tradisi ilmiah yang dijaga selama puuhan tahun, sekaligus memberikan pelajaran bagi banyak orang bahwa di dunia akademik, nilai dan integritas dalah sesuatu yang amat penting.

Dalam kasus Boediono, tindakan copy-paste itu harus disikapi dengan serius. Sebagai pemimpin negara, ia semestinya menyadari bahwa segala gerak-gerik dan kata yang diucapkannya akan menjadi cermin bagi seluruh warganya. Sebagai orang penting di negeri ini, ia harusnya paham bahwa publik menjadikan dirinya sebagai teladan serta panutan dalam bersikap. Jika seorang wapres melakukan plagiat dalam pidatonya, maka warga bisa saja berkesimpulan bahwa tindakan itu adalah tindakan yang biasa saja, sebab seorang wakil kepala negara pun melakukannya.

Kedua, tindakan itu mencerminkan ketidakmampuan dalam mengenali masalah serta kegagapan dalam menemukan cara pandang baru atas masalah. Anggap saja pernyataan Jubir Wapres dan BKPM itu benar, bahwa selama setahun persoalan yang dihadapi masih sama. Pertanyaannya, apakah dalam setahun tidak ada cara pandang baru dalam melihat masalah, atau minimal evaluasi atas segala tindakan yang dilakukan selama kurun waktu setahun?

Setahun silam, pemerintah berhadapan dengan masalah yang sama. Tentu saja, pemetaan masalah itu lalu diformulasi dalam satu kebijakan untuk mengatasi masalah tersebut. Tak adakah satu analisis baru atau evaluasi yang lahir dari proses belajar dalam merumuskan kebijakan lalu menerapkannya di lapangan?

Akan jauh lebih bijak jika Wapres Boediono mengatakan, “Tahun lalu kita berhadapan dengan sejumlah masalah, namun setelah mencoba berbagai cara untuk menyelesaikannya, saya akhirnya tiba pada kesimpulan bahwa persoalan ini masih mendera kita disebabkan oleh sejumlah hal” Jika mengeluarkan pernyataan ini, maka ia memberikan penegasan bahwa pemerintah telah mengenali masalah, lalu bekerja keras untuk mengatasi masalah. Jika tahun ini hal yang sama masih dihadapi, maka berarti ada sesuatu yang salah dalam penanganan serta tantangan yang kian kompleks.

Ketiga, ini adalah cerminan betapa tidak kreatifnya tim penyusun naskah pidato wakil presiden. Di balik setiap politisi atau pemimpin, terdapat barisan mata rantai tenaga ahli yang bekerja secara simultan dan membantu seorang pemimpin menyiapkan segala hal. Mereka menyiapkan segala pidato, serta konsep-konsep yang hendak disampaikan seorang pemimpin. Dalam kasus Boediono, kesalahan bisa ditimpakan pada tenaga ahli yang tidak mempersiapkan naskah secara serius, sehingga gejala copy-paste bisa bermunculan.

Jon Favreau, penyusun pidato Barrack Obama

Namun tak adil jika kesalahan ditimpakan pada mereka. Saya pernah membaca artikel bahwa penyusun pidato Presiden Amerika Barrack Obama adalah pemuda berusia 27 tahun bernama Jon Favreau. Pemuda itu bercerita bahwa ia mengikuti semua kegiatan Obama demi mengetahui apa yang dipikirkan dan dirasakannya. Ketika ia menyusun naskah pidato, naskah itu lalu dibaca dan dikoreksi Obama hingga empat kali. Biasanya, Obama akan puas ketika membaca naskah kelima.

Nah, dalam kasus Boediono, kita bisa berkesimpulan bahwa ada mata rantai yang keliru dalam prosesnya. Penyusun pidato menyiapkan naskah copy-paste, sedang pembaca pidato, tak pernah memeriksa apakah naskah ini sudah sesuai ataukah tidak. Ia hanya membaca, sesuatu yang juga sudah pernah dibacakannya setahun silam.

Yah, politik kita memang ibarat sebuah panggung opera. Di balik panggung itu, terdapat sejumlah pekerja citra yang menyiapkan segala hal demi membuat seorang sosok tampak hebat dan agung. Di balik layar itu, terdapat praktik politik yang manipulatif dan tak jujur demi memenangkan suara rakyat. Lewat cara itulah seorang pemimpin lahir. Namun sebagai rakyat, kita tak diam. Kita sedang mencatat!


Baubau, 8 November 2013

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Baiknya kak yusran saja yg gantikan tim penyusun pidatonya.. :-)

Yusran Darmawan mengatakan...

bang zul. jika diberi kesempatan itu, sy mau-mau saja. hehehe....

Posting Komentar