Belajar dari Dokter Amerika


Rumah Sakit O'bleness

HARI itu, suhu tubuh anak saya Mahavidya Sarasaty (Ara) meninggi. Semalam suntuk ia tak bisa tidur dan hanya bisa menangis. Tadinya saya pikir sakitnya akan segera berlalu. Ternyata panasnya malah meninggi. Saya lalu membeli termometer di toko CVS lalu mengukur suhu tubuhnya. Termometer itu lalu menunjuk angka 103 Fahrenheit. Istri saya mendesak untuk segera membawa Ara ke rumah sakit. Ia harus diperiksa dokter.

Jika ia sakit di tanah air, saya tak ragu membawanya. Saya paham seberapa banyak biaya yang harus saya siapkan. Namun saat itu kami di Ohio, Amerika Serikat (AS). Saya perkirakan pasti biaya rumah sakit sangatlah mahal. Saya juga tak paham bagaimana kultur para dokter ketika memeriksa pasien. Namun saya tak punya pilihan. Saya tak tega melihat Ara sakit demam dan terus-terusan menangis. Sebagai ayah, hati saya teriris-iris.

Kami lalu ke rumah sakit O’blenes. Ketika tiba, Ara dibawa ke sebuah bangsal untuk menunggu dokter. Perawat lalu memanggil saya. Ia bertanya dan mencatat tentang nama dan alamat apartemen tempat saya berdomisili. Saya pikir perawat itu akan menyebut biaya perawatan atau minimal biaya pemeriksaan. Ternyata sama sekali tidak. Perawat lalu mempersilakan saya untuk kembali ke tempat Ara dan ibunya  menunggu di satu bangsal. Perawat itu lalu bertanya beberapa hal, kemudian berkata bahwa dokternya akan segera datang.

Belakangan saya baru tahu kalau rumah sakit di Ohio tidak pernah membicarakan biaya pada saat pasien datang. Semua pasien akan langsung dirawat dengan fasilitas terbaik yang dimiliki rumah sakit hingga pasien itu sembuh. Tiga bulan setelah sehat, barulah rumah sakit akan mengirimkan rincian tagihan biaya pengobatan. Pihak rumah sakit berprinsip bahwa biaya adalah urusan belakangan. Ketika pasien datang, maka ia wajib dilayani. Makanya, ada joke atau lelucon di Ohio bahwa rumah sakit adalah tempat untuk mencari kesembuhan, namun setelah tiga bulan, ia akan mengirim penyakit stres ke rumah kita.

Tak sampai setengah jam, dokternya datang. Ia menjabat tangan saya lalu menyebut namanya Maria Strus. Ia juga datang menyentuh dahi anak saya, kemudian bertanya beberapa hal kepada istri saya. Maria lalu memperhatikan dengan teliti setiap keterangan, lalu mencatatnya pada buku yang dibawanya. Ia mengeluarkan termometer yang lalu dipasang di jari anak saya. Kemudian, ia meminta agar anak saya dibaringkan di ranjang yang tersedia.

Ketika memeriksa telinganya, dokter Maria itu langsung menemukan sumber masalahnya. Ara mengalami gangguan infeksi di telinganya. Ia harus meminum antibiotik pada dosis tertentu. Dokter itu menjelaskan tentang sebab-sebab penyakit, setelah itu ia memberikan resep obat. Saya lega karena Ara tidak harus menginap di rumah sakit. Kami diminta menunggu selama beberapa menit. Tak lama kemudian perawat datang sambil membawa resep dan beberapa lembar kertas kuning. Saya diminta untuk membaca dengan teliti kertas-kertas itu.

informasi tentang penyakit
informasi tentang diagnosis
instruksi untuk di rumah
pesan bijak tentang pentingnya orangtua


Pada lembar awal kertas itu, terdapat nama lengkap Ara, serta nama orangtuanya. Lalu, ada informasi tentang penyakit yang dialami Ara. Penjelasannya ditulis dalam bahasa yang sopan dan mudah dimengerti. Ia menjelaskan dengan detail tentang virus, bagaimana menghadapi virus, apa yang harus dilakukan di rumah, serta beberapa pesan bijak bahwa dukungan keluarga adalah kekuatan utama dalam proses penyembuhan. Terakhir, ia merinci obat-obat apa saja yang akan dimakan oleh anak itu. Penjelasannya sangat detail, dan mudah dipahami.

Sebagai bapak, saya langsung paham apa yang menimpa anak saya. Penjelasan dokter itu juga menjadi patokan bagi saya untuk menyusun langkah-langkah yang harus dilakukan. Saya akhirnya tahu bahwa sakit anak saya adalah sesuatu yang umum terjadi, khususnya jelang musim dingin. Yang paling saya senangi adalah penjelasan serta upaya mengedukasi masyarakat luas tentang penyakit yang diderita, serta bagaimana para dokter itu membumikan konsep-konsep kedokteran yang rumit menjadi sesuatu yang sederhana dan mudah dipahami.

Sebuah Refleksi

PEPATAH lain ladang lain belalang dan lain lubuk lain ikannya juga berlaku di sini. Di berbagai penjuru tanah air, para dokter sedang meradang. Demi rekan-rekan sejawatnya, mereka lalu menggelar demonstrasi di banyak kota. Mereka mogok saat memberikan pelayanan, lalu membiarkan banyak pasien terlantar di rumah-rumah sakit. Mungkin saja mereka hendak berkata bahwa perubahan selalu membutuhkan korban. Tak masalah jika beberapa jam tak ada pelayanan. Yang penting hak bersuara telah ditunaikan.

Terus terang, saya tak seberapa paham duduk perkara sehingga para dokter itu berdemonstrasi. Saya hanya mendengar bahwa di Manado sana, tempat yang menjadi awal dari api yang menyebar ke mana-mana, ada seorang pasien meninggal dunia. Keluarganya lalu menggugat sang dokter. Di tingkat pengadilan tinggi, dokter tak bersalah. Namun Mahkamah Agung (MA) memvonis dokter itu bersalah sehingga dokter itu dipenjarakan. Maka proteslah para dokter di seluruh Indonesia.

Saya hanya bisa mereka-reka. Di media, banyak orang mengeluarkan bahasa hukum dan bahasa teknis untuk memahami masalah ini. Tapi saya ingin melihatnya dari sisi lain. Saya melihat satu elemen yang hilang yakni tak adanya proses komunikasi yang equal dan harmonis. Dokter bekerja dengan dunia sains yang teknis dan mekanis. Ia tak hendak membumikan istilah itu sehingga dipahami pasien ataupun keluarga pasien. Keduanya tak saling memahami. Sang dokter tak berempati ada keluarga korban. Ia hanya memeriksa, lalu mengoperasi. Dan ketika korban menghembuskan napas terakhir, tak ada pula penjelasan tentang apa yang sedang terjadi.

Sementara masyarakat luas, termasuk keluarga korban dan jaksa, melihat ada sesuatu yang keliru di sini. Mereka memang tak paham istilah-istilah medis. Akan tetapi, ada rasa haus akan kebenaran yang tak penah terpuaskan. Ketika dokter sibuk dengan dunianya dan tak membuka ruang-ruang untuk berkomunikasi, maka masyarakat akan melihatnya dengan cara berbeda. Konflik bisa muncul di situ.

Kemarin, seusai demonstrasi, media sosial dipenuhi kritik pada para dokter. Saya semakin yakin bahwa banyak hal yang susah dipahami masyarakat awam atas apa yang mereka lakukan. Susahnya karena relasi dokter dan pasien tak seimbang. Dokter punya otoritas yang lebih tinggi. Ia dianggap tahu segala hal tentang pasien yang ditanganinya. Masyarakat menjadi pihak yang tak banyak tahu. Ketika konsultasi, dengan mudahnya dokter menyebut biaya pegobatan, tanpa ada ruang bagi masyarakat untuk tahu mengapa biaya tertentu cukup mahal.

Masyarakat juga ‘dipaksa’ paham bahwa peristiwa meninggalnya pasien adalah sesuatu yang dianggap wajar di ranah medis karena sebab-sebab yang sukar diprediksi. Andaikan yang meninggal itu adalah keluarga dokter, apakah kematian itu menjadi hal yang sederhana?

Idealnya, pasien dan keluarganya  adalah mitra yang diajak berdiskusi. Di tanah air kita, tak semua dokter bersedia untuk mengedukasi pasien dan keluarganya. Malah banyak di antara dokter yang menghadapi pasien sebagaimana motor rusak yang harus dibenahi. Pasien langsung ditangani. Tak ada dialog. Tak ada interaksi dengan keluarga korban. Bahkan ketika korban telah meninggal, tak ada pula permaafan serta penjelasan kepada keluarganya. Laiknya motor rusak yang tak bisa diperbaiki, korban dikembalikan begitu saja di rumah. Di titik ini kita tak lagi berbicara tentang nilai-nilai kemanusiaan.

tampak luar
ruang unit gawat darurat

Jika saja dokter di Manado itu menjelaskan dengan persuasif serta menginformasikan banyak aspek pengobatan, maka kasus ini tidak akan merebak luas. Jika saja para dokter bekerja dengan penuh empati dan memahami apa yang dirasakan keluarga korban, tentunya kasus ini bisa dihindari. Setidak-tidaknya, ketika ruang komunikasi terbuka, maka semua pihak bisa memahami posisi masing-masing. Dokter paham akan keingintahuan keluarga atas kondisi keluarganya, dan keluarga pasien juga paham tentang tindakan medis yang harus dilakukan para dokter.

Belajar dari pelayanan dokter di Amerika, seyogyanya, dokter di tanah air harus belajar banyak aspek persuasif serta komunikasi dengan pasien. Mereka mesti melihat pasien sebagai subyek yang harus didengarkan dan dipahami. Memosisikan pasien sebagai motor rusak, yang dioperasi lalu setelah itu lepas tangan, adalah sesuatu yang keliru. Kurikulum di sekolah tinggi kedokteran mesti mencakup aspek sosiologis, antropologis, dan komunikasi. Dengan cara demikian, dokter tak hanya memahami hal teknis, namun juga bisa menyentuh pasien dari hati ke hati, memosisikan mereka sebagai keluarga yang butuh kasih sayang dan perhatian, serta bekerja dalam iklim saling memahami dengan pasiennya. Semoga demikian adanya di masa depan.




0 komentar:

Posting Komentar