Inspirasi Kendari Kreatif


tugu di Kota Kendari
 
DI saat ribuan buruh di Jakarta menyampaikan protes dengan cara berdemonstrasi yang memacetkan jalan, arak-arakan, serta melemparkan makian pada pejabat, anak-anak muda Kendari justru punya banyak cara kreatif untuk menyampaikan protes.

Mereka membentuk barisan komunitas yang sama-sama menjadikan kreativitas sebagai senjata. Di antara mereka adalah komunitas musik reagge, breakdance, blogger, komunitas robot, hingga pengusaha muda. Mereka punya visi yang sama untuk menjadikan kreativitas sebagai sebuah gerakan sosial baru yang transformatif.

***

DI tengah lampu temaram di sebuah warung kopi di kawasan Jalan Kamboja, anak muda itu datang dengan mengenakan seragam batik khas karyawan sebuah bank. Ketika duduk di warung kopi itu, ia lalu melepas seragam batik itu. Di baliknya, ia mengenakan baju kaos yang bergambarkan sebuah jembatan besar, serupa jembatan Ampera di Palembang.

“Ini adalah rancangan jembatan Bahteramas,” katanya. Di bawah gambar jembatan itu, ada tulisan ‘anabule.’ Di Kendari, istilah ‘anabule’ sering diasosiasikan dengan makian. Namun, anak muda itu memiliki tafsir berbeda tentang istilah itu. Menuutnya, istilah itu adalah umpatan yang diberikan warga kota lama Kendari kepada orang Belanda atau Jepang pada masa kolonial. “Mereka melepaskan kekesalan dengan cara membuat umpatan anabule,” katanya.

Anak muda itu bernama Rendra Manaba. Saya mengenalnya ketika singgah di satu warung kopi. Ia berprofesi sebagai karyawan sebuah bank. Namun ia juga seorang penggiat gerakan sosial yang tergabung dalam kelompok Komunitas Kreatif. Komunitas ini menghimpun banyak kalangan, mulai dari pengusaha, pemusik, pelukis, pembuat animasi, hingga ikut merekrut anak-anak jalanan. Selain menggelar berbagai kegiatan kreatif, mereka juga ikut melakukan perlawanan atas sebuah kebijakan yang sering dirasa tak adil dengan cara-cara unik, kreatif, dan khas anak muda.

Derlin, sahabat Rendra, bercerita bahwa pemerintah provinsi Sulawesi Tenggara hendak membangun sebuah jembatan besar yang menghubungkan dua kawasan di Teluk Kendari. Pemerintah menyiapkan anggaran Rp 3 triliun untuk sebuah jembatan yang dianggap banyak orang tidak punya sisi ekonomi, sebab hanya sekadar menghubungkan dua tempat.

Biaya sosial pembangunan jembatan itu amatlah besar. Pemerintah akan menggusur kawasan kota tua Kendari, sebuah kawasan yang sejak puluhan tahun silam telah menjadi denyut nadi kota, sekaligus merawat warisan sejarah dan tahap-tahap penting perkembangan sebuah kota.

Rencana ini ditentang banyak pihak sebab akan menghapus banyak situs bersejarah serta bangunan tua yang menjadi ciri dari sebuah kota. Di banyak kota besar, bangunan tua menjadi situs berharga yang dirawat dan dikembangkan. Bangunan-bangunan itu menjadi ikon serta prasasti tentang kemajuan yang pernah dicapai pada satu masa, serta tantangan-tantangan yang harus dihadapi di masa depan.

Uniknya, anak muda Kota Kendari merespon kebijakan itu dengan cara-cara yang amat kreatif.  Bersama rekan-rekannya, Rendra membuat kaos-kaos yang berisikan suara-suara protes. Kaos-kaos itu didesain dengan cara unik, menggunakan idiom-idiom lokal serta berisikan gugatan atas rencana pembuatan jembatan. Tak hanya itu, sejumlah pelukis juga membuat graffiti yan isinya adalah gugatan atas rencana itu.

Tak hanya kaos dan lukisan grafiti, mereka juga membuat website Kendari Kreatif, serta grup di facebook yang isinya adalah ajakan untuk menyelamatkan kota lama Kendari. Melalui grup-grup di dunia maya, mereka menjalin relasi dan merawat kedekatan dengan banyak orang. Mereka membangun isu bersama, kemudian mengajak banyak orang untuk duduk bersama dan melihat permasalahan kota. Mereka menebar virus-virus kesadaran serta jaringan pertemanan yang dijaga melalui kegiatan kreatif.

Yang membuat saya takjub, mereka melakukan semuanya secara swadaya, tanpa menyusu ke lembaga pemerintah. Mereka juga tidak membangun relasi dengan politisi, ang pada praktiknya sering memanfaatkan berbagai kelompok untuk pencitraan, ketimbang memberdayakan. Anak muda itu rata-rata punya profesi lain, yang kemudian bergabung bersama. Puncaknya, mereka pernah membuat kegiatan Kendari Kreatif yang menjadi panggung bagi aksi-aksi mereka.

Salah satu anggota Kendari Kreatif, Derlin, mengatakan, “Kami ingin membuat sesuatu yang bermakna. Tak sekadar kumpul-kumpul dan minum kopi. Kami ingin bekerja melalui jaringan. Kami saling bantu, sekaligus sama-sama menyampaikan protes,” katanya.
 
pamflet Kendari Kreatif
Jembatan Bahteramas

Perkataan anak muda itu mengingatkan saya pada catatan James Scott dalam buku Weapon of the Weak. Kata Scott, perlawanan tak selalu melalu cara-cara bersenjata atau revolusi. Perlawanan rakyat bisa melalui berbagai medium seperti gosip, makian, cerita, ataupun dengan berbagai cara unik lainnya. Dan anak-anak muda Kendari punya cara-cara unik sebagai medium berekspresi.

Mereka ibarat oase di tengah kota Kendari. Mereka tampil beda di tengah barisan anak-anak muda lain yang hari-harinya diisi diskusi tentang politik, serta bagaimana mendapatkan proyek dari lembaga-lembaga pemerintah. Mereka juga tampil beda dengan banyak lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang sibuk menjalankan proposal, ataupun lembaga kemahasiswaan yang sering hanya menjadi kaki tangan politisi. Anak-anak muda ini membangun kemandirian, serta sikap saling menopang untuk sama-sama berdiri kokoh.

Ceceran Hikmah

Berbincang dengan anak-anak muda itu ibarat menimba ilmu pada kolam inspirasi. Mereka mengajarkan saya bahwa segala sesuatu yang diniatkan baik, kelak akan berbuah kebaikan pula. Melalui komunitas, mereka bisa sama-sama menjadikan kreativitas sebagai medium untuk

Pertama, gerakan sosial tidak melulu aksi, protes, ataupun berdemonstrasi dengan suara-suara yang dikeraskan. Ada banyak ragam cara untuk mengekspresikan sesuatu. Kita tak perlu malu untuk belajar pada sejumlah anak muda yang punya cara-cara kreatif untuk bergerak. Anak muda masa kini membuktikan bahwa kreativitas adalah kata kunci untuk berubah.

Beberapa bulan lalu, saya menyaksikan anak-anak muda Makassar bergerak dalam kelompok Makassar Berkebun. Saya juga pernah melihat sejumlah anak muda Kupang yang membentuk Geng Motor Imut lalu menjadikannya wadah untuk keliling ke desa-desa dan membantu warga untuk beternak sapi. Hari ini, saya menyaksikan bagaimana anak muda di Kendari mengorganisir diri dalam berbagai komunitas kreatif.

Kedua, fenomena anak muda yang kreatif, serta membangun jaringan melalui internet mengingatkan pada teori Gen Net yang dikemukakan Tapscott tentang fenomena munculnya anak-anak muda yang akrab dengan teknologi, serta lebih ceat belajar dan beradaptasi. Generasi baru kita memang lebih kreatif serta lebih cerdas dalam menyikapi persoalan. Mereka juga lebih mudah membangun jaringan pembelajaran dan merancang aksi-aksi yang lebih humanis.

saat saya ikut diskusi dengan teman-teman dari Kendari Kreatif

Ketiga, semua pengambil kebijakan semestinya membaca trend tentang kian mandirinya warga dalam mengambil sikap. Pendekatan yang selalu mengabaikan aspirasi publik sudah bukan zamannya. Jauh lebih baik jika mendengarkan semua aspirasi warga, kemudian memformulasikannya menjadi satu kebijakan yang lebih menyentuh orang banyak. Jauh lebih baik untuk mendengarkan suara-suara berbeda demi melahirkan kebijakan yang tidak melabrak nurani warga dan suara hati banyak orang, yang diekspresikan dalam lukisan, grafiti, ataupun pada T-Shirt ‘anabule’ yang dibikin anak Kendari.(*)

0 komentar:

Posting Komentar