tiga seri The Five Ancestor yang telah terbit |
HARI itu, di tahun 1650 M, Kuil Shaolin
hancur setelah diserbu pasukan kekaisaran. Sang Mahaguru memerintahkan lima
murid terpilihnya untuk berpencar mengikuti lima arah angin. Murid-murid
terpilih itu adalah Long (naga), Seh (ular), Hok (bangau), Fu (macan), dan
Malao (monyet). Kelima biksu termuda itu menguasai kungfu dengan keahlian
binatang, sebagaimana namanya. Mereka diminta untuk berkelana, mengungkap
takdir, serta mencari masa lalu mereka.
Kuil itu dihancurkan oleh bekas biksu
bernama Ying (elang). Tak hanya menghancurkan, Ying juga membunuh sang mahaguru
serta mencuri gulungan naskah kungfu naga. Rupanya, Ying merasa kesal pada sang
guru. Ia merasa diriya layak untuk menguasai kungfu naga. Namun sang guru
mengajarinya kungfu elang. Di tengah puncak kemarahannya, Ying meninggalkan
kuil, kemudian kembali dengan pasukan kekaisaran.
Ini adalah prolog dari serial The Five
Ancestor yang dibuat Jeff Stone, sebagaimana diterbitkan Noura (Mizan Grup). Dari tujuh kisah, saya baru membaca tiga kisah
yang baru diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Kisah-kisah itu adalah (1) tiger
atau macan, (2) monkey atau monyet, dan (3) snake atau ular. Saat membaca tiga buku awal, saya menemukan
bahwa kisahnya tidak asing, sebab saya sudah pernah mendengarnya dalam versi
berbeda.
Beberapa tahun lalu, saya pernah belajar
karate. Di sela-sela belajar, saya membaca beberapa buku tentang sejarah karate
dan beladiri lainnya. Saya mendapati fakta bahwa kebanyakan beladiri berasal
dari Asia. Semua jenis beladiri itu bermula dari beladiri Shaolin yang
dikembangkan oleh para biksu. Entah apa sebabnya, pasukan kekaisaran Cina
menghancurkan biara. Semua anggota padepokan Shaolin itu lalu berpencar ke
berbagai daratan, dan mengembangkan beladiri mengikuti gaya para binatang.
Dalam serial ini, kelima biksu muda itu
lalu berpencar, namun kemudian bertemu kembali. Saya menikmati tuturan
pengarangnya yang ringan, jenaka, serta menginspirasi. Tak perlu berkerut
kening utuk memahami aliran dialog yang seperti sungai plan, namun kerap
menghanyutkan. Kelima biksu muda itu tetap bertingkah sebagaimana layaknya
remaja, yang kemudian dipaksa untuk menghadapi masalah. Mereka memang sakti,
tapi mereka masih hijau di padang kehidupan. Petualanganlah yang kemudian
menjadi medan untuk mengasah kematangan serta kemampuan untuk melihat sesuatu
secara dewasa. Dan saya sangat menikmati kisah petualangan mereka.
Buku pertama berkisah tentang Fu, atau
macan. Karakternya adalah pemarah. Ia gampang emosi serta kuat bertarung
sebagaimana macan. Sedang buku kedua berkisah tentang Malao atau monyet. Ia
amat lucu dan lincah sebagaimana monyet. Ia adalah biksu paling muda sekaligus
paling jahil dari smeuanya. Sedang buku ketiga adalah tentang Seh atau ular.
Sebagamana halnya ular, Seh paling pandai menyusup dan menjalin aliansi dengan
para bandit.
Ada beberapa bagian dalam serial ini yang
mengingatkan saya pada film Kungfu Panda. Bagian itu adalah mengenai sosok
antagonis, yang kemudian menjadi musuh nersama. Sosok Ying (elang), dahulu
adalah murid perguruan Shaolin. Ia keluar dari perguruan karena ambisi yang tak
tercapai. Ketika kembali, ia berkeinginan mencuri gulungan kitab naga, yang
merupakan ambisi terdalamnya.
Bagian ini mengingatkan saya pada sosok
Tai Lung atau leopard dalam film produksi Hollywood itu. Dikisahkan dalam film
itu kalau Tai Lung kembali ke perguruan lalu berencana hendak membunuh mantan
pengasuhnya Master Shifu demi gulungan kungfu naga. Untungnua, gulungan itu
telah diserahkan pada Panda Po, yang pada saat itu dianggap tidak layak jadi
pendekar, namun pada akhir kisah justru sukses memecahkan misteri pada gulungan
naga yang kosong. Nah, sosok Panda Po ini tak ada dalam serial karangan Jeff
Stone.
Saya juga menyukai jalinan cerita yang
sukses membuat penasaran. Peristiwa dalam serial ini dimulai dari hancurnya
kuil Shaolin. Pengarang lalu mengajak pembaca untuk masuk dalam masing-masing
karakter. Pada buku pertama, pembaca diajak untuk berpikir dan melihat
persoalan dengan cara Fu atau macan. Saya bisa merasakan amarah Fu dalam
melihat semua peristiwa.
Pada buku kedua, saya juga bisa merasakan bagaimana
Malao atau monyet yang kemudian berkelana dan memimpin pasukan monyet. Sedang
di buku ketiga, saya bisa memahami perasaan Seh atau ular yang selalu ke
mana-mana membawa ular kecil di lengannya. Ular itu membantunya untuk mengenali
chi atau energi yang dipancarkan oleh seseorang.
Dengan cara masuk pada pikiran
masing-masing tokoh, sepertinya pengarang ingin mengatakan bahwa setiap orang
memiliki cara pandang sendiri yang berbeda. Semua orang punya keunikan melihat
masalah, yang dipengaruhi oleh pengalaman, latar belakang, serta visi dan
cita-cita di masa depan. Memahami deyut nadi kehidupan lima biksu muda itu sama
dengan memahami kompleksitas persoalan dari banyak aspek, sehingga membuat kita
lebih arif memahami kehidupan.
Semoga saja buku keempat hingga buku
ketujuh segera diterbitkan. Saya tak sabar untuk mengikuti petualangan serta
pertarungan para biksu muda itu. Semoga tak lama lagi.(*)
0 komentar:
Posting Komentar