ilustrasi |
SEMINGGU ini ada dua peristiwa yang mengguncang dunia sastra tanah air. Pertama, merebaknya kontroversi atas pemberian penghargaan. Seorang sastrawan sibuk berkicau di twitter demi menyuarakan protes atas penghargaan sastra. Padahal, ketika dahulu ia menang penghargaan, ia tak pernah ribut. Giliran orang lain, ia berkicau. Kedua, seorang sastrawan kenamaan dilaporkan polisi atas tuduhan pencabulan.
Saya tak tertarik dengan peristiwa yang
kedua. Sebab pencabulan bisa melanda siapa saja baik itu seorang di level atas
dunia permainan bahasa, maupun seorang pria biasa yang tinggal di sudut sebuah
pulau. Saya menaruh minat pada peristiwa pertama sebab membuka pandangan saya
tentang banyak hal, mulai dari kian sempitnya dunia sastra, hingga konflik di
kalangan para sastrawan.
Dunia sastra memang bukan dunia yang
sesak. Para sastrawan tak seberapa banyak. Anehnya, jumlah yang sedikit tidak membuat
mereka solid. Ketika sebuah penghargaan sastra diumumkan, kontroversi mulai
merebak. Seorang sastrawan yang tak sepakat memilih untuk berkicau di twitter.
Ia menyebar ketidakpercayaan kepada para juri.
Dunia sastra yang sempit itu seolah
mengalami keguncangan. Di sana sini orang-orang membahasnya. Ada banyak gosip,
serta kasak-kusuk di kalangan mereka yang berjubah sastrawan dan telah
melahirkan karya-karya hebat. Konflik itu disaksikan oleh publik melalui media
sosial. Namun apakah publik peduli dengan konflik itu?
Dunia sastra memang sempit. Malah
amat sempit. Para pembaca sastra terus berkurang. Sebuah media pernah
melaporkan bahwa dari tahun ke tahun, penerbitan buku sastra semakin berkurang.
Sastra seolah berumah di atas langit. Generasi hari ini lebih suka sesuatu yang
simple dan instant. Mereka suka sesuatu yang sederhana, namun bisa membasahi
pikiran mereka dengan wawasan dan gagasan baru.
Dengan jumlah sastrawan dan pembaca sastra
yang kian terbatas, penghargaan di bidang sastra juga tak banyak. Pantas saja
jika penghargaan menjadi arena konflik. Andaikan dalam setahun ada lebih 10
penghargaan sastra, barangkali smeua akan akur. Sebab semua akan mendapatkan
bagian.
Kita tengah hidup di abad penuh otoritas.
Semua orang ingin menyatakan dirinya sebagai pemilik otoritas. Segalanya harus
dilakukan secara terbuka dan transparan. Jika tidak, maka ketidakpercayaan
serta konflik akan tersulut lalu membakar bangunan kepercayaan yang telah
susah-payah dibangun.
ilustrasi |
Lain dunia sastra, lain pula dunia blogger. Keduanya sama-sama bermain-main dengan kata, namun nampaknya para blogger jauh lebih banyak menyerap atensi publik. Jumlah blogger di Nusantara dilaporkan sebanyak 500 ribu orang. Jika lebih separuh blogger rajin meng-upload tulisan-tulisan, artikel, ataupun foto, maka kita bisa membayangkan betapa kayanya dunia literasi tanah air. Tak hanya meng-uload, para blogger juga rajin berinteraksi dan bertukar kabar demi jejaring sosial yang kuat. Dunia maya menjadi dunia ntuk bertemu, saling sapa, dan saling diskusi tentang kehidupan.
Meskipun sering pula ada selentingan
kritik bahwa yang dipercakapkan di dunia blogger adalah hal yang remeh-temeh
dan tidak penting. Namun bagi saya, apapun yang dipercakapkan tetaplah positif
jika ditulis. Melalui percakapan yang tertulis, satu set kenyataan sosial coba
dipahami dan dilihat dari banyak sisi. Banyak orang akan nimbrung dan memberi
masukan lalu menilai apakah seseorang bisa berdiskusi ataukah cuma bisa
marah-marah.
Para peneliti juga akan mendapatkan
limpahan bahan mentah berupa keping-keping kenyataan sosial, yang kemudian bisa
dianalisis, dipahami, dan bisa menjelaskan banyak hal tentang dunia sosial
kita. Para blogger berkutat dengan hal remeh-temeh, namun menarik untuk
diikuti. Dalam buku Grown Up Digital,
pengarang Don Tapscott meramalkan kian redupnya sastra. Namun ini bukan berarti
generasi sekarang punya kemanusiaan yang kian menipis. Sebab mereka mengasah
nuraninya melalui interaksi di dunia maya, melalui facebook dan kanal-kanal
blog yang tersebar di mana-mana, serta melalui twitter. Mereka menebalkan
kemanusiaannya dengan cara berbeda.
Tapscott memang benar. Di saat banyak
kritik tentang generasi sekarang yang kian apatis, ia mengajukan banyak contoh
tentang betapa banyaknya anak muda yang memilih untuk menjadi relawan di
negara-negara berkembang demi mengatasi kesulitan air atau ancaman penyakit. Tapscott
juga menyebut contoh tentang banyaknya gerakan sosial baru di berbagai kota,
yang menyuarakan spirit perlawanan, yang dibentuk melalui interaksi di facebook
atau twitter. Malah, twitter disebut-sebut berperan penting sebagai wadah tempat
para aktivis bertemu dan menyulut api pergerakan.
Yup. Dunia sastra dan dunia blogger memang
beda. Jika sastra adalah dunia senyap yang dihuni sedikit orang, mana dunia
blogger menjadi kerumunan besar yang diramaikan banyak orang. Ada refleksi,
kesenyapan, serta perenungan di dunia sastra, sedang di dunia blogger ada
ramai-ramai, diskusi artikel, serta saling lempar gagasan dalam waktu singkat.
Keduanya punya dinamika berbeda. Hanya saja, dunia sastra kian sepi, sedang
blogger kian melimpah ruah.
Inilah penanda zaman hari ini, yang esok
hari bisa pula berganti. Biarlah generasi mendatang yang kelak akan menjadi
saksi dan mencatat semuanya.
0 komentar:
Posting Komentar