Kapusu Nosu di Warung Paseba


Ancaman Punahnya Ladang di Pulau Buton

makanan tradisional Buton (foto: warisan indonesia)

DI Warung Paseba yang menyajikan makanan tradisional di Baubau, aku melihat menu kapusu nosu atau jagung olahan yang disajikan seperti bubur. Dahulu, makanan ini disajikan di rumah-rumah sebagai pengganti nasi. Selain kapusu nosu, ada pula olahan jagung lainnya yakni kambose (butiran jagung yang dimasak), kambewe (kue jagung), hingga jagung bakar.

Di warung itu pula, aku melihat kasoami yakni makanan yang terbuat dari kukusan perasan ubi. Di mana-mana, bentuk kasoami selalu sama, yakni kerucut. Jenis makanan ini paling banyak ditemukan di seluruh jazirah Buton hingga Wakatobi. Maklumlah, di pulau-pulau karang yang tandus ini, hanya tumbuhan jenis tertentu yang bisa bertahan. Tumbuhan-tumbuhan itu ditanam dalam ladang, yang dikelola dan dipanen sendiri.

Dahulu, makanan-makanan ini adalah jenis makanan pokok yang membesarkan generasi. Sewaktu kecil, nasi hanyalah salah satu pilihan. Tak setiap hari kami makan nasi di rumah. Bapak dan ibuku bercerita bahwa dahulu mereka makan nasi hanya pada hari-hari tertentu, semisal Lebaran. Di luar itu, mereka makan jagung, ubi, sagu, serta pangan lainnya.

Selanjutnya beras datang dalam jumlah banyak dari Makassar dan Jawa. Kedatangan beras itu menenggelamkan semua makanan lokal yang lebih dulu hadir. Beras identik dengan hidup sehat, identik dengan kemewahan. Kedatangan beras itu telah melestarikan ketergantungan warga pada makanan pokok yang datang dari luar, sekaligus mematikan kemandirian warga pada pangan lokal yang selama ratusan tahun menjadi penyangga kebutuhan rumah tangga.

Sejak kapan datangnya beras? Berdasarkan studi yang kulakukan bersama peneliti Unicef, beras mulai membanjiri Sulawesi Selatan dan Tenggara sejak akhir tahun 1970-an. Di Sulawesi Selatan, pemerintah Orde Baru melancarkan operasi Lappoase atau swasembada pangan. Pemerintah bersama militer memaksa petani untuk menanam padi. Tanah-tanah digusur demi sawah-sawah. Pemerintah juga menyebarkan cerita tentang Dewi Sri atau Dewi Padi. Di kebudayaan Bugis, Dewi Sri dikenal sebagai Sangiang Seri yang menumbuhkan padi.

Operasi itu memang berhasil. Sawah-sawah tumbuh menghijau bak hamparan permadani. Presiden Soeharto mendapatkan penghargaan dari Food Agriculture Organization (FAO) sebagai tokoh yang sukses melakukan swasembada pangan. Ia dianggap sukses menyediakan pangan bagi jutaan warganya yang sering mengalami krisis pangan. Semua orang bertepuk tangan.

Satu fakta yang terlupakan adalah nasib pangan-pangan lainnya. Di wilayah seperti Pulau Buton, padi hanya tumbuh di areal tertentu. Komposisi tanah di pulau ini lebh banak didominasi oleh batu. Makanya, orang-orang tidak menyebutnya tanah berbatu, melainkan batu bertanah. Hanya jenis tumbuhan tertentu yang bisa bertahan yakni ubi kayu dan jagung. Pantas saja jika sejak ratusan tahun silam, nenek moyang Buton telah mengajarkan keturunannya untuk menanam jagung dan ubi kayu. Dua jenis tanaman ini telah menjamin kelangsungan pangan, sekaligus menjaga asa kemandirian seluruh warga.

Hadirnya beras bukan saja menjadi potret dari standar hidup yang kian meningkat, tapi juga menjadi potret ketergantungan. Dulu warga pulau bersahabat dengan bumi, menumbuhkan tanaman untuk diolah jadi makanan pokok. Kini, warga pulau jadi tergantung sama pasokan beras yang datang dari Makassar dan Jawa. Tak ada lagi cerita kemandirian atau ikhtiar untuk merawat alam. Yang ada adalah sikap menanti-nanti pangan dari luar, yang kelak akan berdampak serius pada punahnya smeua pangan lokal.

Pada tahun 2000-an, aku pernah membaca tragedi kelaparan di Yahukimo, Papua. Ternyata, kelaparan itu dipicu oleh terlambatnya pasokan beras ke wilayah itu. Penduduk Papua yang dahulu begitu hebat dalam penguasaan atas sumber pangan di hutan dan ladang-ladang, tiba-tiba saja tergantung dengan beras. Mereka harus mengubah tradisi bakar, yang diwariskan sejak ratusan tahun, menjadi tradisi masak.

Di warung ini, aku bernostalgia saat melihat kapusu nosu. Aku membayangkan kearifan tradisional untuk menanam, menyimpan, serta mengolah berbagai makanan ini. Di tanah ini tak pernah terdengar berita tentang krisis pangan. Bahkan ketika masyarakat global mengalami krisis, masyarakat Buton bisa menjaga kearifan ekologisnya sekaligus bertahan hidup. Sebab mereka memiliki ladang yang ditanami, dan menjadi lumbung pangan.

Namun ketika semua orang mengubah orietasi dari makanan ladang ke makanan sawah, apakah gerangan yang tersisa? Bagaimanakah halnya ketika ubi, jagung, dan sagu kian lenyap ketika digerus oleh beras? Apakah masyarakat Buton masih bisa bertahan dari krisis? Entahlah.

Aku ragu dan khawatir kalau kelak tragedi Yahukimo akan terjadi di sini.


Baubau, 17 November 2013


1 komentar:

Anonim mengatakan...

Di ambon ada juga kasoami tp disebutnya suami, entah penulisannya seperti apa. Apakah suami, swami, soami, atau bagaimana

Posting Komentar