Nikmatnya Tinggal di Kampung


laut biru dan pasir putih di Pulau Buton

“Mengapa betah tinggal di kampung?”

Ketika pulang dari Amerika Serikat, banyak yang mengira bahwa aku tak akan betah tinggal di kampung halaman. Beberapa teman menyebut tentang ketidaknyamanan di kampung halaman, mulai dari listrik yang terbatas, tak ada hiburan, jaringan internet yang lambat, hingga tak ada mal yang menjadi tempat kongkow sekaligus janjian.

Beberapa orang menyarankan agar aku tetap tinggal di kota besar. Alasannya biar tidak mengalami shock culture, biar mudah menyesuaikan dengan gaya hidup di Indonesia yang berbeda 100 persen dengan Amerika. Aku hanya tersenyum mendengarnya. Malah aku merasa amat aneh. Justru kembali ke kampung halaman adalah kembali ke habitat asli di mana aku tumbuh dan berkembang.

Melarangku kembali ke kampung halaman ibarat melarang ikan untuk kembali ke air. Air adalah ruang hidup, tempatnya menyerap oksigen serta mengisi hari-harinya dengan petualangan.

Mungkin orang-orang tak selalu salah. Beberapa hari setelah tiba di tanah air, seorang sahabat yang baru pulang dari Amerika meluapkan kekesalannya di jejaring sosial. Ia tidak nyaman dengan gajinya yang kecil, serta beban kerja yang harus ditanggungnya. Belum apa-apa, ia juga mengeluhkan standar hidup yang sangat berbeda. Di luar negeri, ia menerima stipend yang jumlahnya 10 kali lipat dari gajinya di dalam negeri.

Aku bukanlah sahabat itu. Sejak awal, aku tak pernah mengkhawatirkan apapun. Malah aku amat bahagia menjalani hari-hari di kampung halaman. Di Amerika, aku tak pernah sesenang ini. Anehnya, orang-orang di kota sana tetap saja menganggap aku tak nyaman. Ketika lima bulan berlalu, aku masih sering menerima pertanyaan yang bernada heran, “Mengapa betah tinggal di kampung?”

Ada beberapa hal yang membuatku betah di kampung halaman. Kukisahkan satu per satu.

Pertama, makanan. Betapa menyenangkannya tinggal di tanah air. Makanan berlimpah di mana-mana. Ketika berkunjung ke pasar tradisional, tak henti-hentinya aku berdecak kagum melihat tomat, sayuran, buah-buahan, hingga berbagai jenis kue. Dengan mudahnya ditemukan makanan-makanan enak yang bisa dicoba dalam paket wisata kuliner. Aku membayangkan, siapapun yang suka kuliner, pasti akan menjadikan tanah air ini sebagai surga.

Tentu saja, yang paling kusukai dari semuanya adalah ikan-ikan segar yang mudah didapat. Di negeri seperti Amerika Serikat, ikan segar menjadi mimpi di siang bolong. Selama tinggal di sana, aku tak pernah menemukan ikan segar yang dijual utuh. Kebanyakan ikan yang dijual adalah ikan yang disimpan di lemari es, serta telah dipotong-potong hingga membentuk kotak-kotak. Hampir tak pernah aku melihat kepala ikan. Ternyata, banyak orang Amerika yang tak betah melihat mata ikan. Katanya, mata yang menatap itu bisa menimbulkan rasa bersalah.

Di kampung halamanku, ikan bisa ditemukan di mana-mana. Yang bikin aku takjub adalah ikan itu dijual dengan harga yang sangat murah. Seekor ikan tuna besar dengan sirip kuning, hanya dijual 25 ribu rupiah, atau setara dengan 2.5 USD. Bandingan dengan harga ikan di Amerika, yakni sekantong ikan tilapia (sejenis mujair) yang dijual seharga 12 USD. Bukankah negeri kita adalah surga bagi pencinta hasil laut?

mandi di hadapan matahari terbenam

Kedua, pemandangan menakjubkan. Bagi orang Amerika, pemandangan pasir putih, laut biru serta pulau-pulau tropis ibarat surga yang hanya bisa dibayangkan. Butuh biaya besar untuk mencapai pulau-pulau tropis itu. Sementara diriku tak perlu biaya besar. Aku lahir, tinggal dan besar di pulau ini. Kapanpun mau, dengan mudahnya aku menceburkan diri di laut.

Di sini, ada banyak tempat yang bisa dikunjungi. Tak hanya suka ke pantai berpasir putih, aku juga menyenangi panorama pegunungan, sungai-sungai, hingga barisan pohon pinus di dataran tinggi. Aku juga suka menyusuri gua-gua eksotik, dan menyaksikan indahnya dalam gua. Dan setiap kali aku memajang foto alam di media sosial, beragam komentar akan kutemui. Semua orang akan berdecak kagum menyaksikan indahnya lautan serta alam.

Ketiga, aku menyenangi suasana kampung halaman yang tenang. Di Amerika, hidup serba bergegas karena sebagai mahasiswa, ada banyak tugas yang harus diselesaikan, mulai membaca, menulis review, hingga membuat paper. Jam tidur sangat terbatas. Sementara di kota besar seperti Jakarta, hari-hari dihabiskan di kendaraan. Di kampung halaman, aku hanya butuh lima atau sepuluh menit untuk menjangkau satu tempat.

Dengan waktu luang yang begitu luas di kampung, aku membayangkan akan melakukan banyak hal. Selain aktivitas membaca banyak buku yang secara rutin dibeli di kota, aku juga bisa merencanakan berbagai publikasi. Selain menulis di beberapa media massa, aku mulai merencanakan penerbitan buku. Puji Tuhan, dua naskahku akan segera diterbitkan oleh penerbit besar di tanah air. Semoga saja catatan itu bisa menginspirasi banyak orang.

***

DI tengah kenyamanan tersebut, ada saja ketidaknyamanan yang tumbuh di kampung halaman. Aku sering tak nyaman dengan wacana politik lokal. Sepertinya, energi politik para politisi dan tokoh-tokoh lokal lebih banyak dihabiskan untuk saling menjelekkan atau melihat orang lain secara negatif. Di sini aku biasa mendengar kisah tentang saling sikut, saling tendang, serta saling menebar energi negatif berupa kebencian atau kecemburuan pada sesama.

bunga di pekarangan rumah

Jika semua warga kampung bisa menyatukan energi untuk sesuatu yang positif, minimal sesuatu yang sederhana tapi bermakna, maka sedikit demi sedikit akan ada perubahan di sana. Tak perlu bermimpi yang hebat-hebat, misalnya bsa sejajar dengan Korea atau Taiwan. Cukuplah bagaimana membangun ekonomi kampung, menguatkan hubungan solidaritas antar-warga, serta bagaimana menumbuhkan kecintaan kepada kampung halaman.

Aku menyayangkan begitu banyaknya orang pintar yang hijrah ke kota-kota. Semua mencari kenyamanan, sesuatu yang sesungguhnya mudah ditemukan di kampung halaman. Namun aku juga sadar bahwa semua orang punya pendapat beda-beda. Penyair Chairil Anwar amat benar ketika mengatakan bahwa nasib adalah kesunyian masing-masing. Dan di sinilah aku yang telah memilih nasib untuk tetap bahagia di kampung halaman.


Baubau, 14 November 2013

3 komentar:

Unknown mengatakan...

"lao sappa deceng, lisu mappadeceng" (Pergi mencari kebaikan dan pulang untuk memperbaiki : Hakikat Sompe (Merantau) - pepatah bugis makassar
Sehat selalu sir bsrta keluarga

ayomenulis mengatakan...

mengugah siapa saja yang selama ini memandang, kalau hidup di perkampungan setelah selesai menempuh pendidikan, dipandang sebagai sebuah kegagalan dan penyesalan, bukan sebagai pilihan mengabdikan diri, membangun kampung halaman dari ilmu yang selama ini didapatkan. makasih pak Yusran, tulisannya ispiratif dan mencerahkan

qyusha mengatakan...

saya dulu pernah merasakan hidup di "kampung" dikarenakan ayah saya bertugas sebagai camat . jadi setiap liburan panjang sekolah diharuskan merasakan kehidupan daerah . pernah juga ketika saya baru balik dari homestay di amerika begitu sampai saya diharuskan menghabiskan sisa waktu liburan ditempat ayah saya bertugas. and you know what itu daerah listrik pun belum ada. air harus menimba dulu. makan (sengaja) disugukan yang benar2 seadanya.duuuhh kalau diingat2 ya antara seru dan ngelus2 dada juga sie.hehehe
kalau kata ayah saya..hidup harus balance. bisa merasakan tempat yang enak ataupun tidak enak. sehingga diharapkan kita bisa survive dalam keadaan apapun. karena gak selamanya hidup di"atas" (nyaman)

Posting Komentar