PEREMPUAN
itu berprofesi sebagai seorang pengamen di jalan-jalan kota Jakarta. Ia turun
naik bus demi menjajakan suara merdunya di situ. Menurutnya, pengamen adalah
profesi yang membuatnya bebas. Ia tak harus dikejar-kejar disiplin, target,
serta deadline. Ia menyanyi demi kebebasan sekaligus mencukupi kebutuhan
sehari-harinya. Apakah cukup? Sejauh ini, penghasilan itu cukup buat dirinya.
Lain
lagi dengan kisah bocah yang berprofesi sebagai pemain topeng monyet. Saban
hari, ia mesti menelusuri lorong-lorong kota Jakarta bersama seekor monyet.
Mereka sama-sama bertarung dengan nasib. Mereka sama-sama menghibur orang-orang
demi sesuap nasi. Apakah bocah itu tak punya cita-cita?
Saya
menemukan kisah-kisah ini dalam buku My Jakarta yang dieditori Ben O'Neill. Buku yang ditulis
dalam bahasa Inggris ini berisikan kumpulan tulisan yang pernah dimuat pada
harian Jakarta Globe. Buku ini menyajikan beragam kisah manusia-manusia yang
hilir mudik di kota Jakarta. Selain kisah para pesohor, termasuk Fauzi Bowo dan
diplomat senior Ali Alatas, saya menemukan kisah-kisah seperti para pengamen,
pemain topeng monyet, pemulung, atau seorang juru masak di sebuah warung kecil.
Membaca
kisah-kisah itu, membuat saya sempat tertegun. Kota Jakarta memang semakin
megah dan metropolitan. Akan tetapi, mereka yang menghuni kota ini bukan hanya
mereka yang menempati lapis atas di strata sosial kita. Banyak dari penghuni
kota adalah mereka yang marginal, mereka yang sering diabaikan, atau mereka
yang keberadaannya tak pernah dianggap. Tapi mereka adalah penghuni kota yang
sama-sama berusaha untuk hidup di kota sebesar ini.
Sedihnya,
suara mereka sering tak didengarkan. Salah satu petaka penataan kota di negeri
ini adalah ketika kota hanya diperuntukkan buat mereka yang kaya dan bisa
mengikuti apa yang disebut ‘kemajuan.’ Lihat saja logika pemerintah kita
di banyak media. Hari ini saya membaca berita tentang enam ruas jalan tol di
Jakarta. Bukankah jalan tol, yang akan menghabiskan triliunan itu, diperuntukkan
buat yang bermobil?
Sering
kita membaca berita tentang penggusuran. Apakah mereka yang kecil itu tak berhak
untuk menempati sepetak tanah demi berdagang? Mengapa pasar dan mal hanya
diperuntukkan buat mereka yang punya banyak duit? Apakah kita harus punya
segepok duit dahulu demi sebuah akses berjualan di pasar?
pengamen dengan kostum ondel-ondel di kota tua Jakarta |
saat saya ikut dalam tim jelajah kota tua Jakarta |
Memang,
ada banyak pertanyaan yang bisa muncul ketika membahas sebuah kota. Membaca
catatan tentang warga kota di buku My Jakarta ini, semakin menyadarkan saya
bahwa kisah di sebuah kota bukan sekadar kisah benda-benda dan artefak yang
bisu. Kisah sebuah kota bukan pula sekadar kisah tentang tanah dan air. Atau
kisah tentang jalan-jalan sibuk dengan deru asap dari knalpot kendaraan
bermotor.
Kisah
sebuah kota adalah sebuah kisah tentang manusia yang berdinamika di dalamnya,
mencipta gagasan, hidup menyatu dengan kekuatan alam semesta, kemudian
melahirkan sebuah peradaban. Kisah sebuah kota adalah kisah tentang manusia
yang mengukir kebudayaan dan capaian-capaian puncak pemikiran sebagai napas
yang menggerakkan dinamika. Rentang panjang sejarah, manusia hilir mudik dan
berdinamika, nama kota yang bisa berganti-ganti, semuanya disatukan sebuah ruh
yang berpusar dan menggerakkan kota, memberi napas dan bentuk, menjadi saksi
atas dinamika dan interaksi di dalamnya.
Di
kota sebesar Jakarta, terdapat banyak manusia yang sedang bergelut demi hidup.
Di kota itu, terdapat warna-warni dan suka-duka manusia yang berusaha untuk
bertahan. Lewat ksah-kisah itu, kita bisa merasakan tentang denyut nadi sebuah
kota. Kita bisa belajar untuk mendengarkan beragam suara-suara yang kemudian
membawa kita pada satu muara refleksi bahwa kota adalah ruang bersama yang
dimiliki semua orang. Melalui kisah-kisah manusia lain, kita belajar untuk
memahami, memberikan empati, dan menanam satu ikhtiar untuk membangun peradaban
yang lebih baik.
Namun,
mungkinkah ikhtiar itu dilakukan ketika kota seolah dimiliki mereka yang
berpunya?
Athens, 13 Januari 2013
-->
BACA JUGA:
0 komentar:
Posting Komentar