Kenangan Bersama Jim Frye

diapit Jim Frye dan istrinya


PADA mulanya, aku bertemu dengannya di perpustakaan kampus. Ia nampak ramah dengan siapa saja, khususnya mahasiswa internasional. Mungkin ia tahu kalau mahasiswa internasional senang disapa oleh bule Amrik. Selanjutnya, aku mencoba untuk berteman dengannya. Hingga akhirnya, ia sering berkunjung dan menyapa. Mulailah masalah memercik.

Pria itu bernama Jim Frye. Sosoknya tinggi besar dan gemuk. Jika memakai jubah merah, ia akan sangat mirip dengan Santa. Ia sangat ramah dan menyapa siapa saja.

Ia juga berkunjung ke rumah orang yang baru dikenalnya. Nah, saat berkunjung inilah, masalah meruak. Ternyata ia sedang memperkenalkan agama yang dianutnya. Ia mempengaruhi agar orang lain ikut dengannya untuk membangun satu kerajaan surga.

Keyakinannya bukanlah mainstream. Ia mengaku seorang Kristen, yang mengikuti aliran Jehovah Witnesses. Aliran ini mengharuskannya untuk berceramah dan memperkenalkan keyakinan itu ke orang lain. Tadinya aku tak tahu apa yang terjadi. Namun penjelasannya aneh. Ia menolak beberapa sendi dasar ajaran Kristen. Ia mengajukan tafisr yang amat berbeda berdasarkan bacaannya pada teks-teks Al Kitab.

Aku mulai tak nyaman. Kalau dia hanya menemuiku, mungkin dengan mudahnya aku melancarkan strategi retorik untuk berdebat. Meskipun aku tak berniat pindah agama, aku cukup terbuka untuk dialog. Lagian, aku cukup berpengalaman menghadapi orang yang hendak berdakwah. Ia bisa mengutip Injil, aku juga bisa mengutip berbagai teori hermeneutik dan analisis teks yang meniscayakan tafsir bebas atas teks. Dari situlah kuketahui kalau ia agak tekstual. Ia melihat sebuah teks sebagai karet gelang yang bisa bengkok sesuai keyakinannya.

Aku tak ingin jauh membahas teologi. Biarlah itu menjadi urusannya dengan Tuhan. Masalahnya adalah dua orang roommate atau teman sekamarku yang tidak nyaman. Lebih tak nyaman lagi karena ia sering datang, mengetuk pintu, lalu memperkenalkan agamanya. Akhirnya, dua roommate memintaku agar melarangnya datang. Aku dalam posisi dilematis.

Kupikir selagi ia tak mengganggu dan hanya ingin berdebat, maka semuanya oke-oke saja. Kupikir, keyakinan adalah urusan kita. Tak ada satupun kekuatan yang bisa memaksa kita untuk pindah agama. Bagiku, ia tak mengganggu. Apalagi, ia pernah datang bersama istrinya lalu mengajakku bercerita tentang keluarga. Akan tetapi dua teman sekamarku berpikir berbeda. Dengan amat terpaksa, aku memintanya untuk tidak lagi datang ke apartemen. Aku mengirim imel yang isinya permintaan itu.

Sayang sekali, pertemananku dengannya seumuran jagung. Padahal, aku ingin tahu motif para pendakwah di Amerika. Padahal aku baru saja belajar bahwa agama Kristen pun memiliki banyak percabangan. Padahal, aku bisa saja memperkaya pemahamanku tentang bagaimana konsep dakwah bagi mereka. Selama ini yang kuketahui hanyalah satu aliran dalam Islam yang sering mendatangi rumah-rumah demi dakwah.

Yah, apa boleh buat. Banyak hal lain yang harus dipikirkan. Setidaknya aku sudah coba untuk mengenalnya. Selanjutnya, kami tak pernah bertemu. Hingga suatu hari, aku melihatnya di satu mobil sedan. Ia melambaikan tangan demi menyapaku yang hanya bisa mematung saat melihat dirinya.


Athens, 11 Januari 2013

0 komentar:

Posting Komentar