Saat Athens Dicekam Kepanikan


DI saat saya sedang sibuk membaca di Alden Library, tiba-tiba saja sirine berbunyi. Setelah itu, ada suara petugas perpustakaan yang terdengar di seluruh sudut bangunan. Ia meminta agar semua penghuni perpustakaan meninggalkan bangunan itu dan segera pulang. Kampus dinyatakan ditutup. What? Ini baru jam 11 siang. Ada apakah gerangan?

Saya hanya bisa mneduga-duga. Pagi ini, ketika saya membuka email, pihak Ohio University Police Department (OUPD) mengirimkan informasi tentang seorang buronan yang menodong di satu apartemen, lalu melarikan diri di dekat kawasan Stocker. Pesan itu juga saya terima melalui ponsel. Bahkan lewat facebook-pun, saya menerima pesan yang sama.

Ternyata, bukan hanya perpustakaan saja yang tutup. Rektor telah mengumumkan untuk menutup kampus dan mahasiswa diminta untuk pulang ke rumah. Pantesan saja jika semua orang bergegas pulang dalam keadaan panik. Informasi baru beredar kalau sang buronan bersenjata itu berkeliaran di sekitar kampus.

Saat bergegas keluar, saya bertanya pada seorang mahasiswa Amerika. Ia berkata kalau pihak kampus khawatir kalau buronan itu akan menembak. “Kupikir pihak kampus khawatir kalau akan ada penembakan sebagaimana yang terjadi di Virginia atau Sandy Hook,” katanya dengan nada cemas.

Amerika memang tengah dihantui sebuah musuh baru. Dahulu, yang ditakuti adalah musuh dari negeri lain yang bisa menyerbu atau menebar terror setiap saat. Hari ini, musuh tersebut adalah warga sendiri yang dipengaruhi berbagai aspek, entah itu depresi, kesulitan hidup, ataukah moralitas yang kian tercabik. Berbagai kasus pembunuhan massal yang dilakukan warga biasa mestinya menjadi alarm bahwa ada sesuatu yang salah dengan sistem sosial.

Sebagai pendatang, saya hanya melihat bahwa nampaknya debat tentang kepemilikan senjata akan kembali menghangat. Minggu silam, Obama telah menganjurkan adanya batasan kepemilikan senjata, yang kemudian ditentang habis-habisan oleh National Riffle Association (NRA), yang mengklaim didukung banyak warga.

Saya tak hendak membahas polemic itu. Biarlah itu menjadi bahan diskusi warga Amerika. Saya hanya mencatat betapa negeri ini sangat melindungi warganya. Ketika ada info tentang kejahatan atau buronan, pemerintah dan pihak kepolisian Athens lalu bergerak.

Selain ada tim yang bertugas mengejar sang buronan, polisi juga menelepon seluruh warga kota dan memberi peringatan agar tidak berkeliaran di areal tertentu. Jangan tanya dari mana polisi mengetahui nomor telepon semua warga, sebab seluruh nomor itu terregistrasi dalam catatan kepolisian dan pemerintah.

Polisi menyampaikan pengumuman melalui beragam jalur komunikasi. Mereka juga mengirimkan email ke semua warga tentang buronan ini. Semua diminta waspada dan hati-hati kalau buronan itu bisa menyakiti warga. Polisi benar-benar bekerja untuk mengatasi kepanikan warga. Mereka menjadi terapis yang rajin memberikan informasi agar warga tidak panik dan siap siaga menghadapi segala kemungkinan.

Terhadap apa yang barusan terjadi, saya tiba-tiba saja membayangkan apa yang terjadi di tanah air. Apakah polisi dan negara hadir di sisi kita saat kita sedang takut tentang adanya seorang jahat yang berkeliaran? Ketika kita ketakutan akan kerusuhan dan manusia yang bersenjata di jalan, apakah kita pernah menerima telepon atau pesan dari polisi agar tidak panik?

Entahlah. Kita terlampau sering berada pada situasi yang tak aman. Bahkan tangan-tangan kekar penegak hukum pun sering tak sanggup menghadirkan rasa aman di hati kita. Dalam keadaan seperti itu, kita hanya bisa berharap adanya keajaiban serta keberuntungan. Lewat ketakutan itu, kita mengasah diri kita untuk tahan terhadap segala masalah. Namun, bukankah tugas negara adalah melindungi segenap warganya?

Athens, 31 Januari 2013

0 komentar:

Posting Komentar