“Mati kafir seseorang yang tak pernah menulis buku,”
DI
akhir tahun 1990-an, saya mendengar ungkapan itu dari pengajar Universitas
Hasanuddin, Alwy Rahman. Saat itu, ia sedang menyindir para akademisi yang tak
punya hasrat untuk menghasilkan sesuatu. Padahal, pada hakekatnya, tugas mereka
adalah mentransfer pengetahuan, memberikan pencerahan pada mahasiswa. Tanpa
proses reroduksi pengetahuan lewat tulisan, apa gerangan yang mereka hasilkan?
Apakah sekadar cuap-cuap di hadapan mahasiswa? Ataukah hanya sekadar mengutip
karya-karya orang lain?
Pada
masa itu, saya menganggap kalimat Alwy Rahman menjadi semacam lecutan untuk
menghasilkan sesuatu. Saya ingin menulis sesuatu dan menerbitkannya. Saya
bermimpi untuk melihat nama saya tertera di satu buku di sebuah rak toko buku.
Bukan untuk gagah-gagahan, tapi untuk membekukan jejak-jejak pemikiran tentang
sesuatu, pada suatu masa. Saya ingin berbuat banyak hal. Ingn meninggalkan jejak bagi generasi selanjutnya. Saya bersetuju dengan Pramoedya yang mengatakan, "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian."
Sayangnya,
pada masa itu, saya serasa berhadapan dengan tembok tebal untuk menghasilkan
sesuatu. Ada semacam rantai panjang dunia penerbitan yang ketika didaki terasa
terjal. Ada pula semacam kegentaran atas nama-nama para penulis kondang yang
saban hari mengisi media massa kita.
Selain
itu, pikiran juga dipenuhi dengan hantu-hantu atau ketakutan yang sengaja
diciptakan, lalu menghambat semua proses kreatif. Takut dibilang tulisan jelek,
takut dikira bego, takut dikira ngawur, takut dihakimi pembaca, takut dianggap
sok-sokan melalui tulisan.
Demi
mengatasi segala ketakutan, saya belajar untuk menulis di koran kampus. Saat itu saya berpikir nothing to loose. Mau dibilang bagus, saya santai saja. Mau dihina jelek, atau dibilangi hancur, saya cuek saja. Sebab mungkin demikianlah kenyataannya. Demi alasan keren, saya menulis tema-tema berat, semisal eksistensialisme, atau kapitalisme. Jika
saja saat ini saya membaca tulisan-tulisan itu, saya akan senyum-senyum
sendiri. Betapa tidak, gaya menulis saya di masa mahasiswa laksana seorang
filsuf yang suka membentur-benturkan banyak teori. Di masa itu, saya melihat
teori sebagai sebuah jurus silat yang amat asyik untuk diperkelahikan dengan
teori lain. Menurut beberapa teman, tulisan saya adalah tipe tulisan berat,
penuh istilah akademik, serta sukar dimengerti. Benarkah?
Pada
masa itu, saya masih memelihara anggapan bahwa semakin hebat satu tulisan
ketika semakin sulit dimengerti. Kecanggihan satu tulisan adalah ketika
banyak mengutip istilah bahasa asing, serta sering mengutip pendapat
pakar-pakar. Saya tak peduli jika pembaca tidak mengerti. Malah saya bangga
dengan kenyataan itu. Malah, saya merasa pintar ketika orang lain tak mengerti
apa yang hendak saya katakan. So what gitu lho?
Namun,
anggapan ini berubah drastis saat saya menjadi jurnalis. Tugas sebagai jurnalis menuntut saya untuk menulis sesuatu yang berguna serta ingin diketahui publik. Di sini,
saya belajar untuk menuliskan sesuatu dengan cara paling sederhana yang mudah
dimengerti siapapun. Penulis terbaik adalah penulis di majalah kanak-kanak,
sebab ia bisa menyederhanakan idenya hingga dipahami kanak-kanak dan orang
dewasa.
Saya
belajar banyak bahwa hal paling substansial dalam dunia kepenulisan adalah
ketika tulisan itu dipahami, menginspirasi, dan melahirkan semacam
kilatan-kilatan ide dalam benak pembacanya.
Ketika
kita menulis dengan bahasa yang amat rumit (sebagaimana dilakukan para
akademisi), maka kita adalah seorang yang angkuh. Kita telah menyiksa semua
pembaca agar berusaha memahami jalan pikiran kita sendiri. Kita memaksa pembaca
agar memahami ide-ide yang disampaikan, lalu membiarkan pembaca untuk merenungi apa yang sedang kita inginkan. Kita berumah di atas awan, tanpa paham bagaimana mereka yang tinggal di
lapis bawah awan, tanpa tahu bagaimana mengulurkan sinar buat mereka yang di bawah sana..
Jika benar berumah di awan, mungkin akan bagus. Bagaimana halnya jika saya
mengatakan bahwa mereka yang suka mengutip istilah adalah mereka yang tak paham
dengan apa yang dikatakannya? Jika paham benar, maka seseorang akan sanggup untuk
meremukkan sekaligus menaklukan kata-kata sehingga meluncur dalam ungkapan yang
bisa dipahami banyak orang. Bukankah demikian?
Ibarat
pendekar, seorang penulis hebat tak perlu membawa pedang ke mana-mana. Namun ketika pendekar itu berhadapan dengan perkelahian
yang tak terelakkan, maka ia cukup memetik selembar daun, yang menjelma sekuat
pedang. Ia tak perlu petantang-petenteng dengan istilah bangsawan akademik serta membawa pedang yang menyilaukan. Ia
tak perlu membawa apapun. Ia cukup menjadi dirinya sendiri, dan sanggup untuk menuturkan sesuatu dengan
pandangan yang sederhana, namun telak menembus ulu hati. Ia cukup memetik selembar daun. Hebat khan?
Ibarat tugas kependekaran, menulis adalah panggilan moral yang menuntut pertanggungjawaban pada publik
yang membaca tulisan itu. Menulis adalah cara untuk menyapa hati banyak orang dan membisikan satu atau dua kata tentang dunia yang sedang kita pikirkan. Menulis adalah cara untuk meniupkan benih-benih gagasan yang kelak aka tumbuh dan berbiak dalam pikiran kita dan pikiran orang lain. Menulis adalah panggilan jiwa untuk menata ulang
bangunan kenyataan yang nampak porak-poranda agar kembali bersemi dan semerbak sebagaimana mawar.
Dan jalan
kepenulisan itu masih amat terjal buat saya. Tapi setidaknya saya telah belajar memetakan
jalan untuk menulis dengan gaya bahasa yang renyah dan bisa dipahami banyak
orang. Itu saja.
Ah, maafkan saya yang sedang mengigau dan tahu hendak menulis apa.
Athens, 19 Januari 2013
0 komentar:
Posting Komentar