TERLAMPAU
banyak energi di negatif di sekeliling kita. Di media sosial, terlampau banyak
orang yang suka menghina sesamanya. Banyak pula yang suka mencaci-maki
pemimpinnya sendiri. Ada juga yang benci dengan orang lain lalu melepaskan
kebencian itu di media sosial. Ada yang menyakiti, membicarakan, atau meghakimi
orang lain atas nama dalil atau pengetahuan.
Mereka
yang suka menjelekkan orang lain adalah mereka yang gagal membangun kebaikannya
sendiri. Dengan menjelekkan orang, seseorang berpikir bahwa dirinya lebih baik.
Padahal, boleh jadi, keburukan justru ada pada diri orang itu. Semesta
mengajarkan bahwa buah yang jelek pasti akan jatuh dengan sendirinya. Maka kejelekan
tak perlu disebarkan atau dihakimi. Biarlah semesta yang akan menghukumi lalu
menjatuhkannya.
Jika
memang seseorang jelek hatinya, lambat laun dunia akan tahu. Namun jika
seseorang yang dijelekkan itu ternyata baik dalam tafsiran dunia, maka saat itu
juga semua orang akan tahu keburukan hati yang menebar kisah. Saat itu juga
dunia akan tahu bahwa si penebar cerita adalah seseorang yang tak bisa lepas
dari rasa culas dan iri hati, sehingga tak bisa terang melihat orang lain.
Salah
satu kalimat indah yang dituturkan nenek moyang adalah alam terkembang sebagai
guru. Alam semesta mengajarkan demikian banyak tanda-tanda yang bsia diserap
untuk memperkaya kemanusiaan. Burung dan kelelawar tak pernah memakan buah yang
busuk. Ia hanya bersedia memakan buah yang masak. Sementara kita manusia jarang
teliti dalam berkata. Kita sering tak menyadari bahwa kalimat kta mengandung
racun dan menyakiti yang lain.
Lantas,
apakah kita masih bangga menjadi manusia ketika burung dan kelelawar lebih arif
dari kita?
Marilah
kita belajar dari seekor ulat. Jalannya serba pelan. Ia kerap dihina karena
bentuknya yang dianggap menjijikkan. Tapi ulat tak pernah putus asa. Ia tetap
saja memakan daun demi pertumbuhannya. Pada suatu titik, ia akan menjelma
sebagai kepompong. Ia bersabar dengan segala hal di sekitarnya. Ia tak peduli
dengan cacian manusia yang melihatnya bersembunyi.
Ketika
tiba waktunya, ia akan keluar dari kepompong dan menjadi kupu-kupu yang indah.
Sayapnya merentang, dan membuatnya bisa mengangkasa. Ia menunjukkan bahwa
kesabaran selalu membuahkan hasil. Ia mengajarkan bahwa menahan diri demi
mematangkan diri adalah jauh lebih baik dari mengumbar kalimat kasar tentang
yang lain.
Lantas,
apakah kita masih bangga menjadi manusia ketika seekor ulat lebih sabar dari
kita dalam mematangkan diri?
Alam
semesta menyimpan ribuan kisah. Alam semesta menyimpan lautan makna, bagi
mereka yang sanggup mengurainya. Pelajaran terbaik dari alam adalah pelajaran
untuk melihat segalanya sebagai proses. Mereka-mereka yang belajar dari alam adalah
mereka yang menajamkan mata dan telinga demi menyerap kearifan, lalu melihat
semuanya secara positif. Semesta memberikan energi positif, yang kemudian dilepaskan kembali menjadi kebaikan-kebaikan pada sesama.
Mereka yang tak belajar dari alam adalah mereka yang sering memelihara pikiran negatif. Mereka yang membenci sesama adalah mereka yang tak bisa membangun energi positif pada dirinya, tak bisa membangun kebaikan-kebaikan dari dirinya, tak bisa memperkaya nuraninya dengan refleksi, sehingga tak sanggup untuk belajar dari sekelilingnya. Mereka gagal sebagai manusia yang menginspirasi. Mereka memusuhi semesta, dan kelak akan dihukumi oleh semesta.
Mereka yang tak belajar dari alam adalah mereka yang sering memelihara pikiran negatif. Mereka yang membenci sesama adalah mereka yang tak bisa membangun energi positif pada dirinya, tak bisa membangun kebaikan-kebaikan dari dirinya, tak bisa memperkaya nuraninya dengan refleksi, sehingga tak sanggup untuk belajar dari sekelilingnya. Mereka gagal sebagai manusia yang menginspirasi. Mereka memusuhi semesta, dan kelak akan dihukumi oleh semesta.
Lantas, di manakah posisi kita?
Athens, 26 Januari 2013
0 komentar:
Posting Komentar