DI
Brazil sana, para pelacur diajari bahasa Inggris demi menyambut piala dunia
yang digelar di negara itu. Harian Daily Mail edisi Rabu (9/1) melaporkan bahwa
bahasa Inggris akan sangat penting bagi para pekerja seks agar bisa
memberitahukan klien tentang tarif setiap kencan.
***
DUA
tahun silam, seorang sahabat jurnalis mengajakku nongkrong di satu kafe di
Jalan Jaksa, Jakarta. Di atas meja di hadapanku, terdapat berbagai jenis bir
dan vodka. Aku sedang tak ingin menyentuh apapun di meja itu. Aku hanya memandang
ke panggung kecil di bar itu, ketika seorang penyanyi dengan baju yang sangat
tipis sedang menyanyikan lagu Nat King Cole. Aku sempat tersentak ketika ia
melirik ke arahku sembari tersenyum. Hmm.
Tak
lama berselang, pintu kafe itu terbuka. Seorang kawan berkebangsaan Inggris
datang bersama seorang perempuan muda dengan lipstick tipis. Mereka duduk
semeja dengan kami. Bule Inggris itu tak henti-hentinya bercerita banyak hal
sambil sesekali tertawa. Perempuan di sebelahnya juga ikut nimbrung dan menimpali
pembicaraan dalam bahasa Inggris. Aku memperhatikan pelafalannya yang amat
fasih, seolah pernah lama tinggal di luar negeri.
Jenuh
dengan dialog yang tak jelas, aku ke kamar kecil. Ternyata, bule itu ikut pula
ke kamar kecil. Kami lalu jalan bersisian.
“Apakah dia pacarmu?” tanyaku.“No. Saya baru pertama ketemu. Saya telepon mami Robert dan minta dicarikan teman kencan. Duit saya pas-pasan. Ia lalu menunjuk wanita itu,”
Selanjutnya,
semua berjalan seperti biasa. Aku pun kembali ke meja. Kulihat, perempuan itu lalu menyalakan rokok Marlboro. Bibirnya ikut bersenandung, mengikuti penyanyi di atas panggung sana. Baru kuperhatikan kalau wajah perempuan
ini amat cantik. Ia mengingatkanku pada artis Dewi Persik. Dikarenakan posisiku yang tak
seberapa jauh dengannya, aku leluasa untuk mengajaknya ngobrol.
“Bahasa Inggrismu fasih. Pernah tinggal di luar negeri?”“Boro-boro ke luar negeri. Keluar Jakarta aja gak pernah,” katanya sambil tersenyum lalu menghembuskan asap ke wajahku.“Lantas, belajar bahasa Inggris di mana? Sekolah yaa?”“Sekolahku hanya sampai kelas dua SMP. Mana sempat belajar bahasa. Saya belajar di jalan. Belajar sama bule-bule bodoh kayak teman kamu itu,” katanya.“Trus, gimana cara belajarnya?”“Gak tahu. Saya hanya suka ngobrol. Trus pelan-pelan paham, dan selanjutnya bisa deh,” katanya.
Aku
terdiam. Aku sedang memikirkan sistem belajar bahasa di sekolah-sekolah.
Perempuan ini tak pernah belajar bahasa secara formal. Tapi kemampuan komunikasinya
amat luar biasa jika dibanding mereka yang belajar di sekolah. Perempuan ini
sefasih bule.
Barangkali,
ada yang salah dengan metode belajar di sekolah. Kamu tak akan pernah menguasai
bahasa jika memperlakukannya sebagai rumus matematika yang dihapalkan,
sebagaimana dipelajari di sekolah-sekolah. Bahasa adalah sesuatu yang harus
dipraktekkan, digunakan dalam keseharian, dipakai untuk menjelaskan makna, lalu
membuka ruang-ruang komunikasi. Bahasa Inggris hanyalah satu cara untuk
menampaikan maksud. Dan itu bisa dipelajari oleh siapapun, asalkan punya hasrat
untuk tahu.
Perempuan
ini telah menampar pandanganku tentang lembaga pendidikan. Institusi terbaik
untuk menjadi tempat belajar ada dalam diri semua orang yakni keikhlasan untuk
belajar, rasa ingin tahu yang amat besar, serta keinginan untuk memahami
sesuatu. Jika ditilik dengan syarat-syarat ini, maka perempuan di hadapanku ini
adalah seorang pembelajar hebat yang menguasai sesuatu melalui proses belajar
dan interaksi.
Ketika
sedang merenungi hal tersebut, tiba-tiba saja, perempuan itu beranjak pergi
bersama lelaki Inggris itu. Ia sempat menyelipkan kertas tisu ke hadapanku. Di
situ tertera tulisan, “Apakah mas ada
waktu untuk ketemuan besok malam? Saya masih ingin ngobrol."
BACA JUGA:
3 komentar:
Trus, jadi ketemuan dgn perempuan itu malam selanjutnya? #eh :))
kisah selanjutnya akan dibahas melalui tulisan lain. hehehe
banyak yg akhir nya bisa karna biasa ... dari pada bahasa inggris gw yng amburadul hehehe
Posting Komentar