Mengalir Bersama Sungai Kehidupan

 

SUATU hari, perempuan itu menemui saya di tepi sebuah rumah. Ia lalu bercerita tentang cintanya yang remuk. Ia putus asa dan hendak bunuh diri. Ia ingin menemukan cinta sejatinya di alam sana. “Aku telah memberikan segalanya untuknya. Tapi ia memilih bersama orang lain. Dunia ini telah menampikku,” katanya.

Seringkali kita merasa kehilangan cinta. Sering kita merasa terabaikan. Kehidupan terasa hampa, sehingga kita kehilangan semangat. Kita seakan terjebak pada satu pusaran masalah, sehingga kesulitan untuk menemukan jalan keluar. Kita tak melihat cahaya. Kita terjebak dalam kegelapan. Benarkan kita tak punya harapan?

Kita sering tak berkaca di telaga jernih. Bahwa apa yang disebut cinta adalah sesuatu yang kita ciptakan dalam diri lalu kita inginkan untuk abadi. Cinta adalah kemelekatan atas sesuatu. Cinta adalah sesuatu yang ingin kita abadikan sehingga selalu memberi rasa hangat di hati. Ketika sesuatu itu lenyap, maka kita seolah kehilangan segalanya. Kehidupan jadi tak menarik tanpa sesuatu itu. Kita mudah depresi. Stres. Kita mudah merasa kehiangan segala-galanya.

Pantas saja jika seorang arif selalu menganjurkan bahwa demi mencapai kebahagiaan, maka kita mesti berani melepaskan kemelekatan atas sesuatu. Semakin kurang kemelekatan kita, maka semakin berkuranglah potensi rasa sedih atas potensi kehilangan sesuatu itu. Secara praktik, ini jelas tidak mudah, sebab kita terlalu sering memaknai diri kita berdasarkan sesuatu yang kita miliki dan belum kita miliki, atau sesuatu yang pernah dimiliki, kemudian lenyap tak berbekas. Namunkah haruskah kita mengorbankan masa kini dan masa depan demi sebuah kenangan indah di masa silam?

Baru saja saya membaca berita tentang seorang anak yang bunuh diri karena tak dibelikan sepeda motor. Anak itu melihat sepeda sebagai citra diri yang ingin ditujunya. Ia tak beda dengan bankir yang bunuh diri karena merasa kehilangan uang sebanyak miliaran rupiah. Atau seorang perempuan yang gantung diri karena dotinggal kekasihnya. Apakah kehidupan demikian tak berharga sehingga sepeda motor, uang, serta kepergian seseorang bisa merenggut kehidupan?

Kita sering ingin mengendalikan kehidupan. Kita sering ingin memaksakan sesuatu sebagaimana apa yang disaksikan di sinetron atau dalam imajinasi. Tapi kita hanya seorang yang rapuh dan tak akan pernah bisa mengendalikan kehidupan. Kehidupan memiliki bahasanya sendiri. Kita tak pernah bisa menebak jalan nasib. Kita akan berhadapan dengan banyak hal yang sering tak sesuai dengan cita-cita.

Lantas, adakah harapan untuk bahagia? Kunci kebahagiaan itu tak terletak pada sesuatu. Bahagia itu terletak pada keikhlasan untuk melihat kehidupan sebagaimana air mengalir. Air tak pernah ambisi untuk mendaki ke tempat tinggi. Air akan setia dengan takdirnya ke tempat rendah. Air tak pernah marah pada batu karang yang menghalangi langkahnya. Ia memilih untuk jalan memutar lalu tetap melanjutkan langkahnya hingga akhirnya berhimpun dalam telaga. Ketika matahari mengakrabkan diri, ia akan ikut bersama uap, dan kelak akan kembali ke lingkaran kehidupannya.

Kehidupan yang seperti air bermakna menerima sesuatu apa adanya. Kita adalah anak panah yang mengikuti arah busur. Kita hanya berencana, bekerja, dan berusaha sekuat tenaga, namun kehidupanlah yang kelak menentukan akhir dari usaha tersebut. Kehidupan seperti air mengalir bermakna bahwa diri dan jiwa akan bergerak menggapai sesuatu, namun hasil akhir akan ditentukan sang nasib. Kita tak akan menangis ketika karang menghadang, tapi kita akan tetap rendah hati untuk memilih jalan memutar demi menggapai telaga kehidupan. Kita akan menemukan jalan lain dalam ikhtiar untuk tetap melaju.

Dalam proses perjalanan, hasil akhir menjadi tak penting. Sebab yang penting adalah proses untuk menemukan hasil akhir itu. Memang, ada sedih, tawa, senang, dan benci. Semuanya adalah bunga-bunga kehidupan yang memberi warna-warni. Semuanya membentuk satu konsep yang utuh tentang diri kita. Kehidupan seperti air adalah menerima segala hal yang terjadi, dan memandangnya dengan terang mata jernih bahwa kehidupan memilih jalannya sendiri, dan kita hanyalah satu tetes air yang ikut mengalir bersamanya.



Athens, 26 Januari 2012

0 komentar:

Posting Komentar