Suara-suara Lirih di Pilkada Sulsel


ilustrasi

BUMI Sulawesi Selatan sedang diterjang banjir. Ribuan orang bersahut-sahutan melalui aneka situs media sosial. Konon, dalam kurun waktu enam tahun, ini banjir terparah. Seorang sahabat mengirim pesan dari sudut Kabupaten Jeneponto. Katanya, banjir setinggi dada orang dewasa di kampungnya. Adakah orang atau minimal pemimpin—yang bisa mengkoordinasi bantuan untuknya?

Sahabat lain berada di Bone, wilayah yang menjadi kampung mantan wakil presiden. Di sana, banjir telah memutuskan nadi jalan raya. Ia takut tak bisa ke mana-mana untuk mencari kebutuhan pokok. Jika tak ada makanan, apa yang bisa dilakukannya?

Mereka yang seharusnya mendengar teriakan-teriakan itu sedang sibuk menggelar kampanye pemilihan kepala daerah. Seagaimana lima tahun silam, praktik menebar kebohongan secara massal melalui pilkada kembali digelar. Mereka, yang menyebut dirinya pemimpin itu, akan kembali ‘jual kecap’ demi menjelekkan kandidat lain, lalu berjanji untuk mendengarkan suara hati banyak orang. Benarkah? Cuih!

Jika tak ada banjir, marilah kita mengolok-olok mereka. Ada kandidat yang naik ojek ke lokasi kampanye. Demi kampanye, ia melakukan itu. Jika bukan kampanye, ia akan duduk nyaman di atas mobil merek Alphard. Ada pula kandidat lain yang dikawal motor Harley Davidson. Masih berani pula ia berjanji untuk mengentaskan kemiskinan. Ada kandidat yang mantan bupati. Masih berani pula berjanji-janji, padahal rakyatnya banyak yang miskin merana dan tak punya akses atas layanan kesehatan.

Sayangnya, banjir sedang menerjang banyak kawasan. Kita hanya bisa miris sembari mengirimkan bantuan sebisanya. Jika tak sanggup membantu secara fisik, biarlah kita menyebarkan semua pertolongan melalui media-media sosial. Siapa tahu ada yang terketuk hatinya di situ. Cara ini jauh lebih baik ketimbang sibuk berjual kecap di saat banyak orang tengah membutuhkan bantuan.

Setidaknya, kita sama tahu. Bahwa suara-suara korban banjir itu tenggelam oleh teriak membahana para kandidat kepala daerah. Bahwa deru air yang menenggelamkan rumah-rumah itu dikalahkan oleh nyanyian artis dangdut yang berkampanye. Bahwa suara-suara perih mereka yang butuh pertolongan di pedesaan sana telah dikalahkan oleh gegap gempita mereka yang ingin jadi pejabat. Lantas apa yang bisa kita lakukan? Ikut ‘jual kecap’ ataukah berbuat sesuatu?



0 komentar:

Posting Komentar