Mereka yang Bertarung demi Hidup

Di kota sesesak ini, saya lebih memilih bus kota ketimbang busway. Memang, busway menawarkan kenyamanan, suasana dingin, meskipun untuk itu kita mesti menunggu lama. Tapi saya jauh lebih nyaman menggunakan bus kota, dengan alasan kenyamanan. Bukan kenyamanan dalam artian fisik, namun ada sesuatu yang membasahi jiwa, menghadirkan sejuta tanda tanya di benak, serta mata air yang tak henti mengaliri hati ini.

Di bus kota, saya menikmati pemandangan yang ramai dan sesak, serta banyaknya pengamen dan pengemis yang lalu lalang. Setiap menyaksikan mereka, saya seakan merasakan bahwa inilah gambaran kenyataan sosial yang sesungguhnya, realitas yang tengah berdenyut di masyarakat kita. 

Saya tersentuh melihat kerja keras membanting tulang dan mengabaikan harga diri itu. Saya tahu, mereka melakukannya demi sesuatu yang amat prinsipil yakni bertahan hidup. Kota ini ibarat bejana besar bernama kemiskinan yang di dalamnya terdapat jutaan manusia yang berupaya untuk bertahan hidup dan keluar dari situ. Hidup serupa pertandingan di mana selalu ada yang menang dan ada yang kalah. Nah, barisan yang kalah inilah yang kemudian berkeliaran di bis kota dan menadahkan tangan demi receh demi receh.

Bagi saya, mereka yang mengemis itu bukanlah sampah sebagaimana kerap dituduhkan aparat. Mereka adalah bagian dari nadi bangsa ini, sosok-sosok yang menyangga bangunan besar bernama republik. Mereka adalah bagian kecil dari bangsa ini yang menjadi deru napas pembangunan. Dalam konstitusi negeri ini terdapat rumusan, "Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia." Namun, sejauh manakah negara peduli dengan kesejahteraan mereka? Apakah tangan-tangan kekar negara justru menghardik mereka serupa penyakit yang mesti dienyahkan?

Melihat mereka, saya sering termenung. Puluhan tahun negeri ini merdeka, namun tetap saja gagal menyejahterakan jutaan orang yang berkeliaran di jalan-jalan sebagai pengemis, mereka yang banyak di antaranya bunuh diri karena tidak sanggup menjalani hidup yang berat, serta mereka yang tak berdaya di tengah kota sesesak ini. melihat wajah yang lelah karena menadahkan tangan, saya membayangkan laporan pertanggungjawaban presiden tentang angka-angka kemiskinan yang katanya kian turun.

Benarkah jumlah mereka kian berkurang? Ataukah laporan itu dipenuhi oleh akrobat angka-angka yang memanipulasi realitas yang sesungguhnya di masyarakat kita. Bisakah jumlah mereka disederhanakan dengan statistik? Tidak bisakah kita memandang dunia sebagaimana cara pandang mereka yang menjadikan bus kota sebagai ladang untuk mencari nafkah?

Akhirnya, bus kota menjadi suatu arena sosial yang menggedor kesadaran saya tentang lapis kecil kenyataan negeri ini. betapa banyaknya pekerjaan besar yang mesti dilakukan demi sebuah empati buat mereka yang selama ini terpinggirkan.

Saat termenung, muncul seorang pengamen cilik yang menyodorkan kaleng rombeng.  Saya langsung terngiang-ngiang kalimat Iwan Fals, "Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu, demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu..."

0 komentar:

Posting Komentar