DIOBRAL: Kesenian Tradisional Jakarta

pengamen ondel-ondel di Museum Sejarah Jakarta (foto: yusran darmawan)

NASIB kesenian tradisional serupa kerakap yang tumbuh di atas batu. Hidup segan dan mati tak mau. Semakin berkurangnya order pada pelaku kesenian tradisi, menyebabkan mereka banting stir dan menjajakan kesenian itu demikian murah. Mereka mengamen di jalan-jalan, di lorong-lorong, sambil mengumpulkan receh demi receh. Seberapa pedulikah pemerintah kita kepada mereka?

Kemarin, saya menyaksikan pemain ondel-ondel yang lengkap beserta musiknya di jalan kecil di dekat rumah. Semua sound system ditaruh di gerobak. Para pemainnya bermain biola, gendang, dan alat music sembari berjalan. Sementara dua orang berkostum ondel-ondel sembari menari mengikuti irama. Di rombingan itu, ada sejumlah orang yang memegang kantong kecil dan meminta recehan di mana-mana.

Saya sedih melihatnya. Saya membayangkan nasib kesenian tradisional kita yang dijual murah karena masyarakatnya jadi terlampau modern. Mungkin ini adalah gejala pergeseran orientasi sosial kita yang semakin meminggirkan mereka. Ataukah ini fenomena ketidakpedulian pemerintah yang hanya bisa berpangku tangan, hanya bisa memandang pada anak bangsa yang mengais rezeki di jalan raya sambil memainkan kesenian tradisi, lalu menadahkan tangan. Duh, sedemikian murahkah kesenian tradisional kita?

0 komentar:

Posting Komentar